Senin, 30 April 2018

Makalah Tentang Thaharah


BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Dalam menjalankan syari’at Islam tentu terdapat banyak permasalahan dalam menjalankan syari’at itu sendiri. Terutama dalam menjalankan ibadah kita kepada Allah Swt. banyak permasalahan yang seringkali kita temui dalam kehidupan masyarakat. Salah satu permasalahan yang sering ditemui masalah dalah Thaharah. Karena, Thaharah adalah akar dalam menjalankan sebuah ibadah.
B.  Pokok Masalah
A.  Apa itu thaharah?
B.   Ada berapa macam pembagian air?
C.  Apa penjelasan dari Istinja’?
D.  Apa yang dimaksud dengan mandi (Janabat)?
E.   Apa penjelasan dari Wudhu’?
C.  Tujuan
Setelah membaca dan membahas bab tentang thaharah ini. Mahasiswa diharapkan bisa menjelaskan apa itu thahara, macam-macam air dan pembagiannya, istinja’ dan syarat beristinja’, mandi dan yang menyebabkan wajib mandi. Hinnga menerangkan fardhu dan sunnat mandi. Mahasiswa juga dituntun untuk memahami wudhu, syarat, fardu, sunnat dan yang membatalkan wudhu.

BAB II
PEMBAHASAN
A.  Pengertian Thaharah
Thaharah menurut bahasa artinya bersih sedangkan menurut syara’ berarti bersih dari hadast dan najis. Sedangkan bersuci dari hadast terbagi menjadi dua yakni hadast besar dan hadast kecil. Thaharah merupakan masalah yang sangat penting dalam agama dan merupakan pangkal pokok dari ibadah yang menjadi penyonsong bagi manusia dalam menghubungkan diri dengan Allah Swt. Shalat pun tidak akan sah jika tidak ber thaharah, hal ini berdasarkan dalil dari sabda Rosulullah Saw. :
“Allah tidak menerima shalat yang tidak dengan bersuci” (H.R. Muslim).[1]
B.  Macam-macam, Jenis Air dan Pembagiannya
a.    Macam-macam air
Macam-macam air yang dapat digunakan untuk bersuci ada 7 macam yaitu:
1.    Air langit (hujan)
2.    Air laut
3.    Air sumur
4.    Air sungai
5.    Air sumber (air mata air)
6.    Air salju
7.    Air embun[2]
b.    Jenis-jenis air
Air dibagi menjadi empat macam:
1.    Air Mutlak (air yang sewajarnya); yaitu air suci lagi mensucikan.
2.    Air makhruh; air suci yang mensucikan namun makruh untuk dipakai.
3.    Air suci tidak mensucikan.
4.    Air yang tidak suci dan tidak mensucikan.[3]
Jenis-jenis air itu terbagi menjadi dua macam:
1.    Air Mudhaf (Air Murni yang Bercampur)
Air mudhaf adalah air yang tidak bisa lagi disebut air karena adanya unsur penambahan dalam air tersebut. Ia bisa berupa ambil yang diambil dari sesuatu seperti air semangka, air mawar, atau air yang semula mutlak lalu bercampur dengan sesuatu sehingga tidak bisa lagi dikatakan sebagai air saja seperti air kopi, air teh, sirup, dan sebagainya.[4]
2.    Air Murni (Mutlak)
Air mutlak yaitu air suci yang dapat mensucikan (Thahir-Muthahhir), artinya air itu dapat digunakan untuk bersuci, misalnya air sungai, laut, hujan, umur, salju, dan embun.[5] Air yang disebut dengan air tanpa ada tambahan syarat dan kata ejektif lain.[6]
Adapun jenis air mutlak itu dibagi menjadi tiga jenis air mutlak:
a)    Air yang tercurah dari langit (Air hujan)
b)   Air terpancar dari tanah (Al-Ma’ Al-Jari)
c)    Air yang tidak terpancar dari tanah maupun turun dari langit (air tenang), air ini dibagi lagi menjadi dua macam yakni:
1)   Air kurr (kira-kira sebanyak 384 L)
2)   Air yang sedikit/qalil (kurang dari 384 L).[7]
c.    Hukum-hukum Air Mutlak
Adapun didalam fiqh terdapat beberapa hukum air mutlak diantaranya:
1.    Air mutlak yang dapat menyucikansemua najis, seperti air sungai.
2.    Airnya mutlak selain airnya sedikit (qalil), ketika bertemu dengan najis, selama ia tidak terpengaruh oleh bau, warna, dan rasa dari air yang terkena najis itu maka hukumnya suci.
3.    Hukum berwudhu dengan air yang mutlak adalah sah, seperti seseorang yang berwudhu dengan air sungai.[8]
  d.    Hukum dari Jenis-Jenis Air Mutlak
a)    Air hujan
Air hujan yang tercurah pada sesuatu yang telah najis (mutannajis), akan mensucikan suatu yang najis tersebut. Sehingga air tersebut suci lagi mensucikan.
b)   Air kurr (banyak) yang mengalir
Air jenis ini dibagi menjadi dua, yaitu:
1.    Bila sesuatu yang najis dibenamkan kedalam air kurr atau air yang mengalir, maka selain akan mensucikan, air sendiri itu pun tidak akan menjadi najis.
2.    Bila dituangkan sesuatu yang najis kedalam sesuatu yang najis kedalam air yang kurr atau air yang mengalir. Lalu air ini berubah baunya, warnanya, dan rasanya, maka dihukumi air ini menjadi najis (mutannajis).[9]
c)    Air yang sedikit (qolil)
Ada beberapa hukum tentang air yang sedikit ini, diantaranya:
1.    Sesuatu yang najis bila dimasukkan kedalam air yang sedikit, maka akan menjadikan air tersebut najis. Air ini juga tidak dapat mensucikan sesuatu yang telah najis.
2.    Bila air yang sedikit dituangkan diatas sesuatu yang najis, maka ia akan mensucikan. Akan tetapi air yang mengalir setelah dituangkan diatas yang najis maka hukum dari air tersebut adalah najis.
3.    Air yang sedikit jika mengalir kebawah tanpa mengalami tekanan dan bagian bawahnya bertemu dengan najis dikatakan pula bahwa air itu mengalir dari atas kebawah maka air bagian atas tersebut tetap suci.
4.    Bila air yang sedikit bersambung dengan air yang mengalir/kurr ia akan termasuk dalam hukum kurr.[10]
e.    Hukum Ragu dalam Masalah Air
Ada beberapa hukum yang diragukan terhadap air yang digunakan untuk bersuci yaitu:
1.    Air yang tidak diketahui sebagian air yang suci atau air yang najis, secara syar’i dihukumi sebagai air suci. Akan tetapi, jika air tersebut tadinya najis dan tidak mengetahui setelah najis tersebut apakah suci atau tidak maka dihukumu najis.
2.    Air yang tadinya seukuran kurr, bila seseorang ragu apakah air tersebut berkurang dari ukurannya semula ataukah belum, tetap dihukumi sebagai air kurr.
3.    Air yang sebelumnya kurang dari ukuran kurr, selama seseorang tidak yakin bahwa air tersebut telah tercapai dari ukuran kurr tetap memiliki hukum seperti air yang sedikit.[11]
 C.  Istinja’
a.    Pengertian Istinja
Bersuci dari buang air besar dan buang air kecil disebut istinja.[12] Istinja adalah membersihkan kotoran dari dua pintu (kubul dan dubur) dengan air atau dengan tiga batu. Istinja yang lebih baik adalah dengan satu batu atau semisalnya yang dapat menghilangkan najis dan bukan barang yang dimuliakan, kemudian diikuti dengan air.[13]
b.    Hukum Istinja’
Para fuqaha berbeda pendapat tentang hukum Istinja’. Kalangan madzhab Syafi’i berpendapat bahwa istinja’ adalah wajib karena ada hadist yang memerintahkan mengenai hal ini. Maka tidak sah solat seseorang jika ia belum beristinja’ sebagaimana hukum semua najis.
Abu Hanifah berkata, ia adalah sunnah. Ini juga merupakan riwayat dari Imam Malik yang diriwayatkan dari Imam Muzanni, salah seorang sahabat As-Syafi’i. Abu hanifa menyebutkan bahwa ia adalah najis. maka jika ada najis yang sebesar dirham, yakni sebagai bawah telapak tangan, maka dia dimaafkan, jika lebih dari itu maka ia tidak dimaafkan. Demikian juga pandangannya dengan istinja’. Jika yang keluar lebih dari ukuran dirham, maka wajib dicuci dengan air dan tidak boleh menggunakan batu. Dalam pandangannya, tidak wajib beristinja’ dengan menggunakan batu.
Abu Hanifah beralasan dengan hadist “barang siapa yang menggunakan batu dalam istinja’ maka hendaknya ia melakukannya dengan ganjill. Dan barang siapa yang melakukan itu, maka dia telah melakukannya dengan baik. Dan barang siapa yang tidak melakukan itu, maka tidak apa-apa”.[14]

D.  Mandi
a)    Pengertian mandi menurut syara’
Mandi menurut syara’ ialah meratakan air pada seluruh badan untuk membersihkan/mengangkat hadast besar. Sebagian telah kita ketahui bahwa shalat tidak akan sah jika tidak suci dari hadast besar dan hadast kecil. Cara memhilangkan hadast besar adalah dengan mandi wajib, yaitu dengan membasuh seluruh tubuh mulai dari puncak kepala/ujung rambut hingga ujung kaki.[15]
b)   Sebab sebab yang mewajibkan mandi
Sebab-sebab mewajibkan mandi ialah sebagai berikut:
1.    Hubungan kelamin, yaitu beremunya dua khitanan laki-laki dan perempuan. Hal ini berdasarkan hadist:
“Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu ia berkata: Rosulullah Saw. Bersabda:’apabila laki-laki duduk diantara cabang wanita, lalu dikerjakan, maka sungguh telah wajib mandi’. Mutaffaqun ‘alai dan muslim menambahkan: “walaupun tidak keluar maninya”.
2.    Keluar mani, hal ini berdasarkan dalil hadist:
“dari Abu Sa’id Al-Khudriyyi ra. Ia berkata rosulullah saw bersabda: ‘air itu dari air”. (H.R. Muslim dan asalnya dari Bukhari).
3.    Mati, hal ini berdasarkan hadist:
“dari Ibnu Abbas ra. Ia berkata bahwasanya nabi saw. Bersabda tentang orang yang meninggal dunia diantara jatuh dari kendaraan: ‘mandikanlah dengan air dam bidara, dan kafanilah dengan dua kainnya’’.(H.R. Bukhari dan Muslim).
4.    Haidh, yaitu keluar darah secara wajar dari rahim wanita beberapa hari pada tiap-tiap bulan. Dalil yang berkaitan dengan haid ini sebagai berikut:
“dari Aisyah ra. Ia berkata: bahwasanya Ummu Habibah binti Jahsyin mengadu kepada Rosulullah saw. Tentang darah, maka Rosulullah bersabda:’berhentilah (dari sembahyang) selama haidhmu menghalangimu, kemudian mandi’. Tapi Ummu Habibah suka mandi untuk tiap-tiap sembahyang”. (H.R. Muslim)
5.    Malahirkan.
6.    Nifas, yakni darah yang keluar dari rahim wanita setelah melahirkan.[16]
c)    Fardhu/Rukun Mandi
Tentang mandi ini beberapa ini terdapat beberapa rukun dan fardhu:
1.    Niat, yakni menjaga untuk menghilangkan hadast besar. Niat ini sekurang-kurangnya dilakukan ketika mengerjakan amal pada waktu pertama kali.
2.    Membasuh badan.
3.    Menghilangkan najis yang ada pada badan.
4.    Meratakan air keseluruh kulit dan rambut.[17]
d)   Sunnat-sunnat mandi
Mengenai sunnat-sunnat mandi ini dapar diperinci sebagai berikut:
1.    Membaca basmalah.
2.    Berwudhu’ sebelum mandi.
3.    Meggosok badan dengan tangan.
4.    Menyilang-nyilangi rambut dan celah-celah anggota tubuh.
5.    Mulai membasuh kepala kemudian membasuh anggota badan yang sebelah kanan dahulu.
6.    Meniaga kalikan pembasuhan anggota badan.
7.    Beriring, yaitu tidak lama waktunya antara membasuh sebagai anggota satu dengan yang lain.
E.   Wudhu
a)    Fardhu Whudu’
Wudhu yang diperlukan untuk shalat memiliki fardhu-dardhunya yang tidak boleh melewatkan, dan wudhu tidak akan dianggap sah kecuali semua itu harus dipenuhi. Dasarnya firman Allah Swa:  
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki” (Q.S. Al-Maidah: 6)[18]
Adapun fardhu-fardhu yang disepakati adalah sebagai berikut:
1.    Membasuh Muka
Fardhu atau rukun sebagaimana sebagian fuqaha menyebutkan yang pertama wudhu adalah membasuh muka. Sedangkan  apa yang disebut dengan muka telah diketahui, baik dari segi bahasa ataupun syari’at. Maka tidak perlu kiranya di sini memberikan batasan dan definisi sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian fuqaha. Wajah itu adalah antara tempat tumbuhnya rambut hingga bagian bawah dagu dari sisi panjangnya dan antara dua daun telinga.[19]
2.    Membasuh Kedua Tangan Hingga Kedua Siku
Para ulama’ banyak berbeda pendapat untuk masalah membasuh kedua tangan hingga siku ini. Perbedaan ini berdasarkan pada perbedaan bahasa dan tata bahasa, yakni perbedaan kata “Kecuali” pada kebanyakan hadist tentang masalah ini, apakah kata tersebut menunjukan apa batas terakhir atau mengandung makna yang makna bersama-sama. Sebenarnya, kata tersebut mengandung kedua makna. Maka, jika ada yang menunjukkan kepada salah satunya, berarti itulah yang diambil. Jika tidak, maka tetap bisa diartikan keduanya.[20]
3.     Mebasuh Sebagian Kepala
Fardhu atau rukun yang ketiga adalah mengusap sebagian kepala, sebagaimana yang Allah firmankan: “dan sapulah kepalamu”(Al-Maidah: 6). Yang dimaksud dengan mengusap adalah membasahi dengan air dan ini  tidak mungkin bisa tercapai  kecuali dengan cara menggerakkan anggota tubuh yang membasuh dengan menempelkan pada yang dibasuh. Oleh sebab itu, jeka seseorang meletakkan tangan dikepala atau yang lainnya, maka itu tidak disebut dengan mengusap.[21]
Dalam hadist riwayat abu dawud dari anas sesungguhnya Rosulullah Saw. Memasukkan tangannya kebawah sorban, kemudian beliau mengusap kepala bagian depan tanpa melepas sorban. Dalam hadist yang shahih disebutkan, bahwa sesungguhnya Rosulullah mengusap kepalanya dibagian depan dan belakang. Cara inilah yang sering dilakukan oleh beliau. Ini menunjukkan bahwa inilah sunnah Rosulullah, yakni mengusap bagian muka dan belakang dan bagian lain pada sebagian kondisi.[22]
4.    Membasuh Kedua Kaki Hingga Mata Kaki
Allah Swt. Berfirman:
“apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai siku, dan sapulah kepalamu dan basuhlah kakimu sampai kedua mata kaki” (Q.S. Al-Ma’idah: 6).
Sedangkan dalil dari sunnah, tidak dapat satu hadist pun yang menunjukkan bahwa kaki hanya diusap. Sebab semua hadist menjelaskan dengan tegas bahwa kaki harus dicuci. Kecuali dalam beberapa riwayat yang tidak bisa dijadikan sandaran dan hujjah. Ini semua didukung dengan adanya hadist Shahih Bukhari dan muslim yang menyatakan “celakalah bagi kedua mata kaki yang tidak dibasuh”[23].
Hal ini juga diperkuat dengan adanya perintah mencuci kedua kaki, seperti disebutkan dalam hadist Jabir dalam riwayat Ad-Daruqutni dan sabda Nabi setelah berwudu’ “maka siapa yang melakukan lebih dari itu atau kurang, sesungguhnya ia telah melakukan hal yang jelek dan zhalim”. Hadist ini diriwayatkan oleh penulis sunnah yang dinyatakan shahih oleh Ibn Khuzaimah.
b)   Fardhu-Fardhu wudhu yang Diperdebatkan
Selain dari fardhu wudhu’ di atas ada juga fardhu wudhu’ yang diperdebatkan para ulama’ yaitu niat, tertib, dan berturut-turut.
1.    Niat
Dintara rukun atau fardhu wudhu yang diperselisihkan adalah niat. Jumhur fuqaha Maliki, Syafi’i, Ahmad, Ishaq, Al-Laits,  dan lain-lain berpendapat bahwa itu adalah fardhu dari wudhu’. Mereka mendasarkan pendapatnya ini pada sabda Rosulullah Saw. “sesungguhnya setiap amal itu berdasarkan pada niatnya” hadist yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim ini adalah hadist yang diterima umat. Sedangkan lafadz “innama” dalam hadist ini adalah huruf hashr, seakan-akan Rosulullah saw mengatakan tidak ada amal kecuali dengan niat. Sedangkan maknanya adalah bahwa amal itu tidak sah kecuali dibarengi dengan niat dan amal itu tidak akan dikabulkan di sisi Allah kecuali dengan niat.[24]
2.    Tertib
Fardhu wudhu yang diperselisihkan yang kedua adalah tertib. Yaitu urutan dalam mencuci anggota tubuh yaitu membasuh muka, kemudian kedua tangan, lalu mengusap sebagian kepala, dan membasuh kedua kaki hingga mata kaki. Ini merupakan madzhab syafi’i dan madzhab yang masyhur dari Ahmad. Pendapat ini diambil dari Ustman, Ibnu Abbas dari para sahabat, dalam sebuah riwayat dari Ali. Pendapat ini juga yang dikatakan oleh Qatadah, Abu Tsaur, Abu Ubaid, dan Ishaq bin Rarawaih.
Sedangkan yang lain mengatakan bahwa tidak ada kewajiban untuk tertib. Ini dikatakan oleh Al-Baghawi dengan mengutip sekian banyak pendapat para ulama. Sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Mudzir dari Ali dan Ibnu Mas’ud. Pendapat ini juga pendapat Said bin Al-Musayyab, Al-Hasan dan ulama lainnya.[25]
3.    Berturut-turut
Diantara fardhu yang tidak disepakati adalah berturut-turut, yang dimaksud dengan berturut-turut disini adalah hendaknya seorang berwhudhu tidak menyela dalam waktu yang lama. Mereka yang mewajibkan fardhu yang satu ini adalah berturut-turut berhujjah dengan hadist  yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Baihaqi dari Khalid bin Ba’dan dari sebagian sahabat bahwa Rosulullah saw. Menyuruhnya untuk mengulangi wudhu   dan mengulangi shalatnya. An-Nawawi menjelaskan bahwa hadist ini adalah hadist dho’if sehingga tidak bisa dijadikan hujjah.[26]
c)    Sunnah whudhu
1.    Membaca basmalah pada awalnya
2.    Mengusap semua kepala
3.    Mengusap kedua telinga
4.    Membasuh tangan hingga pergelangan tangan saat memulai wudhu’
5.    Menyela-nyela jenggot yang lebat
6.    Menyela-nyela jari-jemari tangan dan kaki
7.    Mencuci apa yang ada diatas kedua siku dan kedua mata kaki
8.    Irit dalam menggunakan air
9.    Membaca do’a setelah selesai berwhudhu’
10.              Melakukan shalat dua rokaat setelah berwhudhu.[27]

BAB III 
PENUTUP
A.  Kesimpulan
Thaharah menurut bahasa artinya bersih sedangkan menurut syara’ berarti bersih dari hadast dan najis. Thaharah merupakan masalah yang sangat penting dalam agama dan merupakan pangkal pokok dari ibadah yang menjadi penyonsong bagi manusia dalam menghubungkan diri dengan Allah Swt.
Macam-macam air yang dapat digunakan untuk bersuci ada 7 macam yaitu; (1) Air langit (hujan);(2) air laut; (3) Air sumur; (4) Air sungai; (5) Air sumber (air mata air); (6) Air salju; (7) Air embun. Air dibagi menjadi empat macam; (1) Air Mutlak (air yang sewajarnya); yaitu air suci lagi mensucikan; (2) Air makhruh; air suci yang mensucikan namun makruh untuk dipakai; (3) Air suci tidak mensucikan; (4) Air yang tidak suci dan tidak mensucikan.
Istinja adalah membersihkan kotoran dari dua pintu (kubul dan dubur) dengan air atau dengan tiga batu. Para fuqaha berbeda pendapat tentang hukum Istinja’. Kalangan madzhab Syafi’i berpendapat bahwa istinja’ adalah wajib karena ada hadist yang memerintahkan mengenai hal ini. Maka tidak sah solat seseorang jika ia belum beristinja’ sebagaimana hukum semua najis.
Mandi menurut syara’ ialah meratakan air pada seluruh badan untuk membersihkan/mengangkat hadast besar. Sebagian telah kita ketahui bahwa shalat tidak akan sah jika tidak suci dari hadast besar dan hadast kecil.

B.  Saran
Semoga makalah kami ini dapat bermanfaat dan menambah wawasan bagi mahasiswa khususnya. Pemakalah menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan dalam menyajikan makalah yang kami buat itu. Untuk itu kritik dan saran pembaca sangat dibutuhkan supaya kedepan kami bisa lebih baik lagi.

DAFTAR PUSTAKA
Ilmu Fikih Islam Lengkap.
Qadhi Abu Syuja’ Ahmad bin  Al husain bin Ahmad  Al-Afsahani, fathul Qorib.
Muhammad Ridho Musyafiqi Pur, Daras Fikih Ibadah, Jakarta: Nur Al-huda, 2013.
H.R.Buchari dan Muslim  dari Abdullah bin ‘Amr dan Abu Hurairah: Al-Lu’luawal Marjaan.
Yusuf Al-Qaradhawi, Fikih Thaharah, Jakarta: Pustaka Al-Kaustar, 2007.
http://pengayaan .com/pengertian-istinja/



[1]Ilmu Fikih Islam Lengkap, hal.46.
[2] Qadhi Abu Syuja’ Ahmad bin  Al husain bin Ahmad  Al-Afsahani, fathul Qorib, hlm. 3.
[3] Ibid.
[4]Muhammad Ridho Musyafiqi Pur, Daras Fikih Ibadah, (Jakarta: Nur Al-huda, 2013), hal. 331-32.
[5]Ilmu Fikih Islam Lengkap, hal. 47.
[6]Muhammad Ridha Musyafiqi Pur, Daras Fikih Ibadah, hal. 32.
[7]Ibid, hal. 33-34.
[8] Ibid, hal. 33.
[9] Ibid, hal. 34.
[10]Ibid, hal. 35.
[11]Ibid, hal. 35-36.
[12] Ilmu Fikih Islam Lengkap, hal. 49.
[13]http://pengayaan .com/pengertian-istinja/
[14] Yusuf Al-Qaradhawi, Fikih Thaharah, (Jakarta: Pustaka Al-Kaustar, 2007), hlm. 122.
[15] Fikih Islam Lengkap, hlm. 50.
[16] Fikih Islam Lengkap, hlm. 51-54.
[17] Fikih Islam Lengkap, hlm. 54.
[18] Yusuf Al-Qaradhawi, Fikih Thaharah, hlm. 184.
[19] Ibid.
[20] Ibid, hlm. 185.
[21] Ibid, hlm. 186.
[22] Ibid, hlm 187.
[23] H.R.Buchari dan Muslim  dari Abdullah bin ‘Amr dan Abu Hurairah: Al-Lu’luawal Marjaan: 139-140.
[24] Yusuf  Al-Qaradhawi, Fikih Taharah, hlm. 193.
[25] Yusuf  Al-Qaradhawi, Fikih Taharah, hlm. 195.
[26] Yusuf  Al-Qaradhawi, Fikih Taharah, hlm. 196.
[27] Yusuf  Al-Qaradhawi, Fikih Taharah, hlm. 207-208.






0 comments: