Kamis, 29 November 2018

Cerpen Motivasi Cinta


Cerita Tentang ANISA
Karya: Zulpasmi
Awalnya aku hanya menggunakan media sosial hanya sebagai penyambung silaturahmi saja, dan hari itu ternyata ada seseorang yang diam-diam memperhatikan status facebook-ku. Iya, sejak itulah dia selalu like dan komen status facebook-ku. Semua berawal dari facebook. Hingga suatu ketika ia chat aku lewa facebook pula. Awalnya aku biasa-biasa saja. Karena aku tidak peduli lagi dengan urusan cinta. Akan tetapi rasa ini seakan mengundang sayang dan mendatangkan cinta. Dia bernama Anisa. Dia adalah seorang santriwati disalah satu Pondok Pesantren di Kota Surabaya. Dia menyatakan cinta padaku. Aku tidak tau alasan ia suka denganku padahal dia pun tidak pernah melihatku. Seketika ia menelponku dan berbicara tentang banyak hal. Mulai menceritakan tentang kehidupannya di pesantren, keluarga, hingga orang-orang yang pernah dekat dengannya. Namu, lambat laun rasa yang aku miliki tidak lagi bisa ku pendam karena dia telah menyatakan dia cinta padaku. Tanpa berpikir panjang hubungan kami pun dimulai pada malam itu. Hari-hari yang aku lalui ketika sudah memiliki hubungan spesial dengan Anisa. Aku sangat merasakan perbedaan yang jauh. Dari yang sebelumnya aku malas-malasan hingga aku selalu rajin untuk belajar, beribadah, dan melakukan aktivitas-aktivitas lainnya. Setia malam anisa selalu menelponku. Hal yang biasa kami bicarakan ialah tentang perkuliahan kami masing-masing. Namun, malam itu tepat pukul 21:00 ia bercerita tentang masalahnya di perkuliahannya. Orang tuanya tidak lagi mendukungnya untuk kuliah karena ia mulai sering sakit. Aku pun turut prihatin karena malam itu ia juga bercerita sambil menangis. Begitu besar kekecewaannya ia merasa ingin cepat-cepat menikah denganku. Karena dia faham tentang agama dan tidak mau berlama-lama berpacaran. Seketika ia menyinggung perihal pernikahan. Anisa berencana akan ke Palembang. Dia berkata bahwa ia telah menceritakan tentang hubungan kami kepada kedua orang tuanya. Dia juga mengatakan bahwa orang tuanya juga sudah setuju jika dia menikah denganku. Anisa pun bercerita tentang uminya yang selalu bertanya tentang diriku. Sebelum dia menutup teleponnya malam itu dia berjanji akan memberi tahu kapan dia ke kotaku tepatnya di Muaro Jambi. Salah satu Kabupaten di Provinsi Jambi.
Hari-hari berikutnya tetap sama seperti hari sebelumnya. Bahkan dari hari ke hari aku merasa semangatku selalu meningkat. Karena setiap malam aku mendapatkan motivasi dari Anisa. Gadis Surabaya yang aku cintai. Dari dirinyalah aku bisa banyak belajar tentang cara mengerti orang lain dan menyampaikan isi pikiran dan hati. Kecakapan berbicaraku pun meningkat dari pada aku yang dulu ketika duduk di Aliyah. Aku merasa bahwa akulah manusia yang paling bahagia waktu itu. Anisa sudah memberikan harapan yang semakin hari semakin terlihat kenyataannya. Hingga beberapa bulan kemudian. Anisa menetapkan bahwa akhir tahun tepatnya bulan Desember ia akan berangkat dari Surabaya menuju Palembang. Ketika dia sampai di Palembang dia sendiri yang akan datang ke Jambi. Tepat pada malam kamis, pukul 01:15 dia membangunkan ku tidur ditengah malam. Dia bilang baru selesai tahajud. Aku bangga karena selama aku kenal permpuan tidak pernah aku menemukan seorang perempuan yang rutin melakukan solat tahajud dan dhuha serta lima waktu yang tidak ia tinggalkan. Ketika itu dia berkata “abi insya allah jika tidak ada halangan bulan Desember aku sudah berada di Palembang. Kita bisa menikah di akhir tahun ini. Kita bangun keluarga yang bahagia tanpa ada satu orang pun yang mengganggu rumah tangga kita.” Lalu aku pun membalas kata-katanya: “ya umi-ku sayang. Aku pun berharap begitu, biar kita menjadi keluarga yang bahagia dunia dan akhirat. Saling mengingatkan satu sama lain, lalu bagaimana dengan kuliah ku?” tanyaku pada Anisa ketika itu. Lalu Anisa pun menjawab: “ia abi aku juga mau buka usaha disana. Mau jual makanan khas dari Surabaya di sana. Siapa tau laris. Terus soal kuliah abi itu harus tetap jalan. Tidak boleh putus, abi harus bisa menjadi sarjana tidak boleh putus kuliah seperti aku.” Ujar anisa dari seberang telepon. Aku hanya diam sambil mendengar kata-katanya yang panjang lebar tentang kesehariannya di Surabaya.
Berjalanlah hubungan kami beberapabulan hingga sampai satu tahun lamanya. Tibalah akhir bulan. Namun, dua bulan terakhir tidak ada kabar tentang Anisa. Yang biasanya chat dibalasnya. Sekarang tidak lagi dibalas. Biasnya Anisa menelpon sekarang tidak lagi ada terdengar suaranya dari telepon genggamku. Aku mulai berpikir bahwa anisa tidak lagi mencintaiku. Bahwa berpikir Anisa mengkhianati janji yang telah dibuatnya. Tahun baru berlalu. Namun, kabar anisa pun tidak lagi ku dengar. Tetapi aku tetap yakin bahwa Anisa adalah perempuan yang setia dan tidak akan mungkin meninggalkanku. Aku selalu berpikir positif tentang Anisa. Hingga suatu malam dia membalas pesan whatsapp ku. Aku merasa lega karena hampir empat bulan dia tidak menghubungiku. Dia memberi kabar kepadaku. Dia bercerita bahwa selama empat bulan dia berada dirumah sakit karena mengidap penyakit yang harus dirawat di rumah sakit umum surabaya. Sengaja dia tidak membalas wa-ku karena Anisa takut bahwa aku akan khawatir dan tidak bisa fokus denga kuliah ku. Suaranya yang parau sambil batuk-batuk namun dia tetap berbicara banyak kepadaku. Aku merasa sedih dan takut kehilangan Anisa malam itu. Aku pun berkata: “umi kenapa tidak bercerita, kalau lah umi bercerita aku pasti akan datang ke Surabaya. Umi aku sangat takut kehilangan umi.” Lalu anisa menjawab: “iya abi, aku pun begitu aku tidak mau berpisah sama abi. Karena aku sangat sayang sama abi. Aku ingin kita hidup bersama dalam satu rumah. Abi aku minta maaf kemarin tidak bisa ngasih kabar tidak jadi ke Palembang karena aku dirawat di rumah sakit”. Aku masih diam karena aku sangat merasa terpukul karena keadaan Anisa yang masih sakit. Aku tidak mengapa kunjungannya ke Palembang ditunda. Namun aku sangat takut jika ada apa-apa dengan Anisa. “Anisa abi takut banget kehilangan umi” tuturku dengan nada yang sangat rendah dan halus. Seakan aku tak sanggup berkata-kata lagi karena pikiranku yang sangat berkecamuk dan tidak konsentrasi malam itu. Rasa khawatirku yang begitu dalam pada Anisa membuatku lupa makan malam itu. Hampir empat jam kami telponan. Anisa masih ingin berbicara padaku. “Abi maafin aku sekali lagi ya karena aku sangatlah sayang pada abi takut abi meninggalkan aku” kata Anisa sambil menangis.  “ia umi aku akan tetap setia sama umi. Umi jaga kesahatan, obatnya jangan lupa diminum biar sembuh. Supaya pernikahan kita tidak ditunda-tunda lagi” lontarku ketika itu berpindah posisi dari kamar keluar rumah. Udara yang sejuk dengan angin yang bertiup sepoi membuat aku merasa tenang bisa berkomunikasi kembali bersama kekasihku yang sangat aku cintai. Ketika itu aku sangat merasa tenang dan tidak lagi meragukan Anisa. “Abi doakan saja aku bisa cepat sembuh dalam satu bulan ini. setelah itu aku berangkat ke Palembang dan kita bisa menika di sana dan membangun keluarga di dekat kampus Abi.” Tutur lembut Anisa yang membuatku menjadi kembali bersemangat menjalani hidup. “Abi sudah dulu ya, umi sudah maggil tuh di bawah. Mmmmmuaah. Makasih abiku sayang assalamualakum” tutup Anisa. Malam itu aku bisa tidur nyenyak karena pikiranku tenang setelah dapat kabar dari Anisa. Rasanya tidak sabar lagi berjumpa dengan pujaan hatiku yang sangat aku idamkan itu.
Keesokan malamnya Anisa kembali menelponku. Ia mengabarkan bahwa dalam beberapa minggu lagi dia bisa sembuh total. Dia bisa ke Palembang tempat neneknya. Lalu dia akan ke Jambi untuk melangsungkan pernikahan denganku sesuai dengan adat di desaku. Aku belum memberi tahu ayahku. Karena itu aku mempersiapkan segala sesuatunya dan membuka usaha supaya nantinya ketika Anisa sudah berada di Jambi kehidupanku sudah mapan dan bisa membiayai keluargaku nanti bersamanya. “abi lagi apa abi” tanya Anisa malam itu yang tak biasanya. “Lagi buat tugas kuliah” jawabku singkat. “aku ganggu ya abi. Kalau ganggu aku tutup saja teleponnya” kata Anisa. “tidak ganggu kok umiku sayang bahkan aku senang umi bisa telpon aku malam ini” ujarku membalas kata-katanya yang terdengar sedang bahagia. Tidak ada balasan kata darinya namun dia hanya bersolawat mengikuti suara solawat yang diputarnya dengan volume yang keras. Aku hanya mendengarnya bersolawat. Hingga hampir empat jam kami berbicara panjang lebar. Begitulah kami mengutarakan cinta kami berdua disetiap malamnya. Hingga beberapa malam berikutnya tetap seperti biasanya.
Memasuki bulan tiga dari tahun kedua dari hubungan kami. Semakin dekat pula dengan hari pernikahan kami. Aku pun sudah memastikan sudah siap untuk menikah dan memberi nafkah. Tetapi dibulan ketiga ini Anisa kembali jarang memberikan kabar kepadaku. Aku tidak lagi berpikir negatif tentangnya. Karena aku sudah yakin dia pasti tidak akan mengkhianatiku. Anisa telan memberikan harapan yang sudah hidup bahkan harapan itu seperti sudah bernyawa dan sudah hampir lahir dalam kehidupanku. Seketika seseorang menghubungiku via wa dengan nomor yang tidak aku kenali dan belum aku simpan di telepon genggamku. “kk maaf sebelumnya ini aku keponakan dari mbak Anisa. Sebelumnya aku juga mau menyampaikan permohonan maaf dari mbak Anisa. Jujur sebenarnya mbak Anisa belum memperbolehkan memberi kabar ini...” dia berhenti pada pesan itu. Pesan tersebut membuat aku penasaran sebenarnya kabar apa yang mau disampaikan oleh orang yang belum aku kenal itu. “memang ada apa dengan Anisa? Tolong beri kabar kepada ku karena beberapa minggu ini Anisa tidak memberi kabar kepadaku. Dia bilang bulan empat ini mau ke Palembang.” Balasku kepada orang yang tidak aku kenali itu.Tetapi pesan yang aku kirim itu tidak lagi dibalas akan tetapi hanya dibaca olehnya.
Memasuki bulan ke empat tahun kedua hubungan kami. Anisa tidak juga memberi kabar. Tetapi setelah sholat maghrib pesan masuk dari wa Anisa mengirim pesan. “assalamualaikum kk mohon maaf ini saya keponakan yang seminggu yang lalu ngirim pesan dengan nomor lain. Aku mau memberi tahu bahwa mbak Anisa sudah di Palembang”. Mendengar kabar itu aku merasa sangat senang karena Anisa sudah membuktikan janji yang dulu diikrarkannya untuk menjadi wanita yang selalu disampingku selama hidupku. “alhamdulillah kalau begitu. Gimana kabarnya sehat-sehat saja kan?” tanyaku padanya. “sebenarnya sih aku tidak boleh memberitahu kk tentang ini tapi begiku ini penting”. Lagi-lagi balasan itu membuatku bertanya-tanya tentang apa yang sebenarnya terjadi. “ya beri tahu saja apa yang mau kamu sampaikan” balasku heran. “sebenarnya mbak Anisa dijodohkan sama neneknya di Palembang. Akhir bulan ini tanggal 25 dia akan menikah dengan laki-laki yang dipilih oleh neneknya”. Sontak hatiku tertegun tak berkata-kata. Bagai gelas kaca yang dihempas berkali-kali hingga menjadi jerami. Bukan lagi berkeping-keping hancurnya, tetapi mendadak hati ini sakit lalu jiwaku seakan mati mendengar kabar itu. Berjuta kecewa ku rasakan pada malam itu. Mengingat Anisa yang aku kenal sebagai wanita yang sangat solehah. Baik akhlaqnya, pintar mengaji, rajin ibadah, sering memberi nasehat dan motivasi bagiku. Menjadikan hati yang tidak mengapa menjadi sakit tak terasa. Ingin aku menangis namun bagiku tiada guna. Ingin ku marah tapi tak ada yang bisa ku jadikan objek untuk melampiaskannya. Membuatku tak bisa tidur pada malam itu. “mengapa Anisa mau dijodohkan?” tanyaku dengan perasaan yang tidak lagi menentu. “mbak Anisa sudah menolak kk tapi neneknya tetap memaksanya untuk menikah dengan laki-laki itu. Kebetulan laki-laki itu seorang anak dari pimpinan pondok pesantren terbesar di Palembang. Aku juga kasihan melihat mbak Anisa karena terakhir aku dengar kabar dia mau bunuh diri dengan meminum racu” sebatas itu orang yang aku kenal sebagai keponakan Anisa itu mengirim pesan. “terus dia selamatkan? Duhai hatiku sepertinya telah hancur ketika mendengar Anisa akan dinikahkan dengan laki-laki yang dipilihkan oleh neneknya itu, padahal aku sudah menyiapkan kebutuhan dan segalam macamnya untuk pernikahanku dengan Anisa nantinya. Tapi, ternyata dia telah dijodohkan oleh nenekny.” Ujarku dengan perasaan yang masih bercampur antara sedih dan amarah. Anisa memang ku kenal baik akan tetapi kebaikannya itu tidak akan pernah ku lupakan. Disisi lain ini adalah salahku karena terlalu berharap pada sesuatu yang semu. Akan tetapi keesokan malamnya Anisa menelponku. “Assalamualakum, abi maafkan aku” kata Anisa sambil menangis tersedu-sedu. Dia menangis hampir setengah jam. Aku tidak bisa menenangkannya karena memang terdengar tangisnya begitu histeris. Aku pun yang awal mulanya berbelas kasihan padanya mulai tidak memikir lagi harapan yang telah dirangkai oleh Anisa. Aku seakan mengobarkan amara yang berapi-api. Namun tak bisa ku lampiaskan pada Anisa. Karena jujur karena rasa cinta yang masih mendalam kepada Anisa telah mengalahkan amarahku padanya. Sedikit rasa kecewa menjadi menghilang karena mendengar tangisnya yang histeris. Aku tak bisa berkata apa-apa lagi. Selama seminggu Anisa selalu menelponku disetiap malamnya. Tekadang setelah sholat isya dan terkadang pula pertengahan malam.
Memasuki bulan Mei hari-hariku sepi tanpa seorang wanita bernama Anisa. Kisah yang lalu ku tutup dengan buku sejarah yang merubah segalanya yang ada pada diriku. Meskipun aku belum pernah melihatnya aku yaki dia orangnya begitu cantik, baik, dan berakhlaq mulia. Akan tetapi keadaanyala yang memaksanya. Ada satu hal yang membuatku merasakan pilu yang mendalam tak sakit namun mematikan. Tidak menyayat akan tetapi menghancurkan. Ya itulah Anisa. Dulu berjanji menjadi wanita yang akan selalu menemaniku kemanapun aku pergi. Seakan tak percaya lagi. Tapi kata seakan itu sudah membuatku yakin bahwa tiada harapan yang pasti tercapai jika hanya sebelah pihak yang memperjuangkannya. Tiada cinta yang hakiki selain cinta yang diridhoi sang ilahi. Tiada kasih yang berbalas sayang jika janji tidak pernah berubah menjadi bukti. Aku cukup tau pada dasarnya wanita itu selalu ingin terlihat benar walau sebenarnya salah. Aku cuku bisa memahapi karakternya wanita yang seketika ia sedi ia akan mencurahkan segalanya pada lelaki yang dianggapnya hanya sebagai pendengar deritanya. Hingga kini hari-hari tanpa Anisa mengajarkanku tentang hidup tanpa harapan. Terimakasih kasihku yang tak bercerita tetapi mengirim luka. Dengan mengenal cintamu jiwaku tau dimana perasaan ini harus ku kuburkan. Dengan mengenal kasih sayangmu hartiku tau dimana harapan harus ku tancapkan sebagai nisan dari perasaanku. Abadi adanya, cerita tentang Anisa ini tertulis untuk menyuratkan kisah sebagai bukti auntentik yang menjadi dasarku tak merubah prinsip tentang pertanyaan orang-orang yang menanyakan kesendirianku. Abadi pula adanya, cerita tentang Anisa ini bukan hanya menyuratkan sebagai bukti auntentik tapi juga akan menyiratkan sebagai tanda ciri yang akan tampak dari prinsip yang kokoh tak lapuk dimakan waktu, tak lekang dimakan hujan. TAMAT!


0 comments: