Cerita
Tentang ANISA
Karya:
Zulpasmi
Awalnya aku hanya menggunakan
media sosial hanya sebagai penyambung silaturahmi saja, dan hari itu ternyata
ada seseorang yang diam-diam memperhatikan status facebook-ku. Iya, sejak
itulah dia selalu like dan komen status facebook-ku. Semua berawal dari
facebook. Hingga suatu ketika ia chat aku lewa facebook pula. Awalnya aku
biasa-biasa saja. Karena aku tidak peduli lagi dengan urusan cinta. Akan tetapi
rasa ini seakan mengundang sayang dan mendatangkan cinta. Dia bernama Anisa.
Dia adalah seorang santriwati disalah satu Pondok Pesantren di Kota Surabaya.
Dia menyatakan cinta padaku. Aku tidak tau alasan ia suka denganku padahal dia
pun tidak pernah melihatku. Seketika ia menelponku dan berbicara tentang banyak
hal. Mulai menceritakan tentang kehidupannya di pesantren, keluarga, hingga
orang-orang yang pernah dekat dengannya. Namu, lambat laun rasa yang aku miliki
tidak lagi bisa ku pendam karena dia telah menyatakan dia cinta padaku. Tanpa
berpikir panjang hubungan kami pun dimulai pada malam itu. Hari-hari yang aku
lalui ketika sudah memiliki hubungan spesial dengan Anisa. Aku sangat merasakan
perbedaan yang jauh. Dari yang sebelumnya aku malas-malasan hingga aku selalu
rajin untuk belajar, beribadah, dan melakukan aktivitas-aktivitas lainnya.
Setia malam anisa selalu menelponku. Hal yang biasa kami bicarakan ialah
tentang perkuliahan kami masing-masing. Namun, malam itu tepat pukul 21:00 ia
bercerita tentang masalahnya di perkuliahannya. Orang tuanya tidak lagi
mendukungnya untuk kuliah karena ia mulai sering sakit. Aku pun turut prihatin karena
malam itu ia juga bercerita sambil menangis. Begitu besar kekecewaannya ia
merasa ingin cepat-cepat menikah denganku. Karena dia faham tentang agama dan
tidak mau berlama-lama berpacaran. Seketika ia menyinggung perihal pernikahan.
Anisa berencana akan ke Palembang. Dia berkata bahwa ia telah menceritakan
tentang hubungan kami kepada kedua orang tuanya. Dia juga mengatakan bahwa orang
tuanya juga sudah setuju jika dia menikah denganku. Anisa pun bercerita tentang
uminya yang selalu bertanya tentang diriku. Sebelum dia menutup teleponnya
malam itu dia berjanji akan memberi tahu kapan dia ke kotaku tepatnya di Muaro
Jambi. Salah satu Kabupaten di Provinsi Jambi.
Hari-hari berikutnya tetap sama
seperti hari sebelumnya. Bahkan dari hari ke hari aku merasa semangatku selalu
meningkat. Karena setiap malam aku mendapatkan motivasi dari Anisa. Gadis
Surabaya yang aku cintai. Dari dirinyalah aku bisa banyak belajar tentang cara
mengerti orang lain dan menyampaikan isi pikiran dan hati. Kecakapan
berbicaraku pun meningkat dari pada aku yang dulu ketika duduk di Aliyah. Aku
merasa bahwa akulah manusia yang paling bahagia waktu itu. Anisa sudah memberikan
harapan yang semakin hari semakin terlihat kenyataannya. Hingga beberapa bulan
kemudian. Anisa menetapkan bahwa akhir tahun tepatnya bulan Desember ia akan
berangkat dari Surabaya menuju Palembang. Ketika dia sampai di Palembang dia
sendiri yang akan datang ke Jambi. Tepat pada malam kamis, pukul 01:15 dia
membangunkan ku tidur ditengah malam. Dia bilang baru selesai tahajud. Aku
bangga karena selama aku kenal permpuan tidak pernah aku menemukan seorang
perempuan yang rutin melakukan solat tahajud dan dhuha serta lima waktu yang
tidak ia tinggalkan. Ketika itu dia berkata “abi insya allah jika tidak ada
halangan bulan Desember aku sudah berada di Palembang. Kita bisa menikah di
akhir tahun ini. Kita bangun keluarga yang bahagia tanpa ada satu orang pun
yang mengganggu rumah tangga kita.” Lalu aku pun membalas kata-katanya: “ya
umi-ku sayang. Aku pun berharap begitu, biar kita menjadi keluarga yang bahagia
dunia dan akhirat. Saling mengingatkan satu sama lain, lalu bagaimana dengan
kuliah ku?” tanyaku pada Anisa ketika itu. Lalu Anisa pun menjawab: “ia abi aku
juga mau buka usaha disana. Mau jual makanan khas dari Surabaya di sana. Siapa
tau laris. Terus soal kuliah abi itu harus tetap jalan. Tidak boleh putus, abi
harus bisa menjadi sarjana tidak boleh putus kuliah seperti aku.” Ujar anisa
dari seberang telepon. Aku hanya diam sambil mendengar kata-katanya yang
panjang lebar tentang kesehariannya di Surabaya.
Berjalanlah hubungan kami
beberapabulan hingga sampai satu tahun lamanya. Tibalah akhir bulan. Namun, dua
bulan terakhir tidak ada kabar tentang Anisa. Yang biasanya chat dibalasnya.
Sekarang tidak lagi dibalas. Biasnya Anisa menelpon sekarang tidak lagi ada
terdengar suaranya dari telepon genggamku. Aku mulai berpikir bahwa anisa tidak
lagi mencintaiku. Bahwa berpikir Anisa mengkhianati janji yang telah dibuatnya.
Tahun baru berlalu. Namun, kabar anisa pun tidak lagi ku dengar. Tetapi aku
tetap yakin bahwa Anisa adalah perempuan yang setia dan tidak akan mungkin
meninggalkanku. Aku selalu berpikir positif tentang Anisa. Hingga suatu malam
dia membalas pesan whatsapp ku. Aku merasa lega karena hampir empat bulan dia
tidak menghubungiku. Dia memberi kabar kepadaku. Dia bercerita bahwa selama
empat bulan dia berada dirumah sakit karena mengidap penyakit yang harus
dirawat di rumah sakit umum surabaya. Sengaja dia tidak membalas wa-ku karena
Anisa takut bahwa aku akan khawatir dan tidak bisa fokus denga kuliah ku. Suaranya
yang parau sambil batuk-batuk namun dia tetap berbicara banyak kepadaku. Aku merasa
sedih dan takut kehilangan Anisa malam itu. Aku pun berkata: “umi kenapa tidak
bercerita, kalau lah umi bercerita aku pasti akan datang ke Surabaya. Umi aku
sangat takut kehilangan umi.” Lalu anisa menjawab: “iya abi, aku pun begitu aku
tidak mau berpisah sama abi. Karena aku sangat sayang sama abi. Aku ingin kita
hidup bersama dalam satu rumah. Abi aku minta maaf kemarin tidak bisa ngasih
kabar tidak jadi ke Palembang karena aku dirawat di rumah sakit”. Aku masih
diam karena aku sangat merasa terpukul karena keadaan Anisa yang masih sakit.
Aku tidak mengapa kunjungannya ke Palembang ditunda. Namun aku sangat takut
jika ada apa-apa dengan Anisa. “Anisa abi takut banget kehilangan umi” tuturku
dengan nada yang sangat rendah dan halus. Seakan aku tak sanggup berkata-kata
lagi karena pikiranku yang sangat berkecamuk dan tidak konsentrasi malam itu.
Rasa khawatirku yang begitu dalam pada Anisa membuatku lupa makan malam itu.
Hampir empat jam kami telponan. Anisa masih ingin berbicara padaku. “Abi maafin
aku sekali lagi ya karena aku sangatlah sayang pada abi takut abi meninggalkan
aku” kata Anisa sambil menangis. “ia umi
aku akan tetap setia sama umi. Umi jaga kesahatan, obatnya jangan lupa diminum
biar sembuh. Supaya pernikahan kita tidak ditunda-tunda lagi” lontarku ketika
itu berpindah posisi dari kamar keluar rumah. Udara yang sejuk dengan angin
yang bertiup sepoi membuat aku merasa tenang bisa berkomunikasi kembali bersama
kekasihku yang sangat aku cintai. Ketika itu aku sangat merasa tenang dan tidak
lagi meragukan Anisa. “Abi doakan saja aku bisa cepat sembuh dalam satu bulan
ini. setelah itu aku berangkat ke Palembang dan kita bisa menika di sana dan
membangun keluarga di dekat kampus Abi.” Tutur lembut Anisa yang membuatku
menjadi kembali bersemangat menjalani hidup. “Abi sudah dulu ya, umi sudah
maggil tuh di bawah. Mmmmmuaah. Makasih abiku sayang assalamualakum” tutup
Anisa. Malam itu aku bisa tidur nyenyak karena pikiranku tenang setelah dapat
kabar dari Anisa. Rasanya tidak sabar lagi berjumpa dengan pujaan hatiku yang
sangat aku idamkan itu.
Keesokan malamnya Anisa kembali
menelponku. Ia mengabarkan bahwa dalam beberapa minggu lagi dia bisa sembuh
total. Dia bisa ke Palembang tempat neneknya. Lalu dia akan ke Jambi untuk
melangsungkan pernikahan denganku sesuai dengan adat di desaku. Aku belum
memberi tahu ayahku. Karena itu aku mempersiapkan segala sesuatunya dan membuka
usaha supaya nantinya ketika Anisa sudah berada di Jambi kehidupanku sudah
mapan dan bisa membiayai keluargaku nanti bersamanya. “abi lagi apa abi” tanya
Anisa malam itu yang tak biasanya. “Lagi buat tugas kuliah” jawabku singkat.
“aku ganggu ya abi. Kalau ganggu aku tutup saja teleponnya” kata Anisa. “tidak
ganggu kok umiku sayang bahkan aku senang umi bisa telpon aku malam ini” ujarku
membalas kata-katanya yang terdengar sedang bahagia. Tidak ada balasan kata
darinya namun dia hanya bersolawat mengikuti suara solawat yang diputarnya
dengan volume yang keras. Aku hanya mendengarnya bersolawat. Hingga hampir
empat jam kami berbicara panjang lebar. Begitulah kami mengutarakan cinta kami
berdua disetiap malamnya. Hingga beberapa malam berikutnya tetap seperti
biasanya.
Memasuki bulan tiga dari tahun
kedua dari hubungan kami. Semakin dekat pula dengan hari pernikahan kami. Aku
pun sudah memastikan sudah siap untuk menikah dan memberi nafkah. Tetapi
dibulan ketiga ini Anisa kembali jarang memberikan kabar kepadaku. Aku tidak
lagi berpikir negatif tentangnya. Karena aku sudah yakin dia pasti tidak akan
mengkhianatiku. Anisa telan memberikan harapan yang sudah hidup bahkan harapan
itu seperti sudah bernyawa dan sudah hampir lahir dalam kehidupanku. Seketika
seseorang menghubungiku via wa dengan nomor yang tidak aku kenali dan belum aku
simpan di telepon genggamku. “kk maaf sebelumnya ini aku keponakan dari mbak Anisa.
Sebelumnya aku juga mau menyampaikan permohonan maaf dari mbak Anisa. Jujur
sebenarnya mbak Anisa belum memperbolehkan memberi kabar ini...” dia berhenti
pada pesan itu. Pesan tersebut membuat aku penasaran sebenarnya kabar apa yang
mau disampaikan oleh orang yang belum aku kenal itu. “memang ada apa dengan
Anisa? Tolong beri kabar kepada ku karena beberapa minggu ini Anisa tidak
memberi kabar kepadaku. Dia bilang bulan empat ini mau ke Palembang.” Balasku
kepada orang yang tidak aku kenali itu.Tetapi pesan yang aku kirim itu tidak
lagi dibalas akan tetapi hanya dibaca olehnya.
Memasuki bulan ke empat tahun
kedua hubungan kami. Anisa tidak juga memberi kabar. Tetapi setelah sholat
maghrib pesan masuk dari wa Anisa mengirim pesan. “assalamualaikum kk mohon
maaf ini saya keponakan yang seminggu yang lalu ngirim pesan dengan nomor lain.
Aku mau memberi tahu bahwa mbak Anisa sudah di Palembang”. Mendengar kabar itu
aku merasa sangat senang karena Anisa sudah membuktikan janji yang dulu
diikrarkannya untuk menjadi wanita yang selalu disampingku selama hidupku.
“alhamdulillah kalau begitu. Gimana kabarnya sehat-sehat saja kan?” tanyaku
padanya. “sebenarnya sih aku tidak boleh memberitahu kk tentang ini tapi begiku
ini penting”. Lagi-lagi balasan itu membuatku bertanya-tanya tentang apa yang
sebenarnya terjadi. “ya beri tahu saja apa yang mau kamu sampaikan” balasku
heran. “sebenarnya mbak Anisa dijodohkan sama neneknya di Palembang. Akhir
bulan ini tanggal 25 dia akan menikah dengan laki-laki yang dipilih oleh
neneknya”. Sontak hatiku tertegun tak berkata-kata. Bagai gelas kaca yang
dihempas berkali-kali hingga menjadi jerami. Bukan lagi berkeping-keping
hancurnya, tetapi mendadak hati ini sakit lalu jiwaku seakan mati mendengar
kabar itu. Berjuta kecewa ku rasakan pada malam itu. Mengingat Anisa yang aku
kenal sebagai wanita yang sangat solehah. Baik akhlaqnya, pintar mengaji, rajin
ibadah, sering memberi nasehat dan motivasi bagiku. Menjadikan hati yang tidak
mengapa menjadi sakit tak terasa. Ingin aku menangis namun bagiku tiada guna.
Ingin ku marah tapi tak ada yang bisa ku jadikan objek untuk melampiaskannya.
Membuatku tak bisa tidur pada malam itu. “mengapa Anisa mau dijodohkan?”
tanyaku dengan perasaan yang tidak lagi menentu. “mbak Anisa sudah menolak kk
tapi neneknya tetap memaksanya untuk menikah dengan laki-laki itu. Kebetulan
laki-laki itu seorang anak dari pimpinan pondok pesantren terbesar di
Palembang. Aku juga kasihan melihat mbak Anisa karena terakhir aku dengar kabar
dia mau bunuh diri dengan meminum racu” sebatas itu orang yang aku kenal
sebagai keponakan Anisa itu mengirim pesan. “terus dia selamatkan? Duhai hatiku
sepertinya telah hancur ketika mendengar Anisa akan dinikahkan dengan laki-laki
yang dipilihkan oleh neneknya itu, padahal aku sudah menyiapkan kebutuhan dan
segalam macamnya untuk pernikahanku dengan Anisa nantinya. Tapi, ternyata dia
telah dijodohkan oleh nenekny.” Ujarku dengan perasaan yang masih bercampur
antara sedih dan amarah. Anisa memang ku kenal baik akan tetapi kebaikannya itu
tidak akan pernah ku lupakan. Disisi lain ini adalah salahku karena terlalu
berharap pada sesuatu yang semu. Akan tetapi keesokan malamnya Anisa
menelponku. “Assalamualakum, abi maafkan aku” kata Anisa sambil menangis
tersedu-sedu. Dia menangis hampir setengah jam. Aku tidak bisa menenangkannya
karena memang terdengar tangisnya begitu histeris. Aku pun yang awal mulanya
berbelas kasihan padanya mulai tidak memikir lagi harapan yang telah dirangkai
oleh Anisa. Aku seakan mengobarkan amara yang berapi-api. Namun tak bisa ku
lampiaskan pada Anisa. Karena jujur karena rasa cinta yang masih mendalam
kepada Anisa telah mengalahkan amarahku padanya. Sedikit rasa kecewa menjadi
menghilang karena mendengar tangisnya yang histeris. Aku tak bisa berkata
apa-apa lagi. Selama seminggu Anisa selalu menelponku disetiap malamnya.
Tekadang setelah sholat isya dan terkadang pula pertengahan malam.
Memasuki bulan Mei hari-hariku
sepi tanpa seorang wanita bernama Anisa. Kisah yang lalu ku tutup dengan buku
sejarah yang merubah segalanya yang ada pada diriku. Meskipun aku belum pernah
melihatnya aku yaki dia orangnya begitu cantik, baik, dan berakhlaq mulia. Akan
tetapi keadaanyala yang memaksanya. Ada satu hal yang membuatku merasakan pilu
yang mendalam tak sakit namun mematikan. Tidak menyayat akan tetapi
menghancurkan. Ya itulah Anisa. Dulu berjanji menjadi wanita yang akan selalu
menemaniku kemanapun aku pergi. Seakan tak percaya lagi. Tapi kata seakan itu
sudah membuatku yakin bahwa tiada harapan yang pasti tercapai jika hanya
sebelah pihak yang memperjuangkannya. Tiada cinta yang hakiki selain cinta yang
diridhoi sang ilahi. Tiada kasih yang berbalas sayang jika janji tidak pernah
berubah menjadi bukti. Aku cukup tau pada dasarnya wanita itu selalu ingin
terlihat benar walau sebenarnya salah. Aku cuku bisa memahapi karakternya
wanita yang seketika ia sedi ia akan mencurahkan segalanya pada lelaki yang
dianggapnya hanya sebagai pendengar deritanya. Hingga kini hari-hari tanpa
Anisa mengajarkanku tentang hidup tanpa harapan. Terimakasih kasihku yang tak
bercerita tetapi mengirim luka. Dengan mengenal cintamu jiwaku tau dimana
perasaan ini harus ku kuburkan. Dengan mengenal kasih sayangmu hartiku tau
dimana harapan harus ku tancapkan sebagai nisan dari perasaanku. Abadi adanya,
cerita tentang Anisa ini tertulis untuk menyuratkan kisah sebagai bukti
auntentik yang menjadi dasarku tak merubah prinsip tentang pertanyaan
orang-orang yang menanyakan kesendirianku. Abadi pula adanya, cerita tentang
Anisa ini bukan hanya menyuratkan sebagai bukti auntentik tapi juga akan
menyiratkan sebagai tanda ciri yang akan tampak dari prinsip yang kokoh tak lapuk
dimakan waktu, tak lekang dimakan hujan. TAMAT!
0 comments:
Posting Komentar