JARIMAH QISHOS DAN DIYAT
FIQH JINAYAH
DOSEN PENGAMPU: SULHANI, S.Sy.,M.H
DISUSUN
OLEH KELOMPOK III
SUCI
SRI WAHYUNI : 101170115
TRI
RAHAYU NOPRIYANI : 101170113
WAHYU
AL-THORIQ : 101170118
PRODI HUKUM KELUARGA
FAKULTAS SYARI’AH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SULTHAN THAHA SYAIFUDDIN
JAMBI
2018
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah,
segala puji bagi Allah Swt. yang telah memberikan kesempatan kepada pemakalah
untuk menyusun makalah ini. Solawat beriring salam semoga tetap tercurahkan
kepada junjungan besar Nabi Muhammad Saw. yang telah memberikan wawasan yang
luas tentang pentingnya menuntut ilmu.
Makalah
yang berjudul “Jarimah Qishas dan Diyat” ini
kami buat dengan tujuan agar mahasiswa bisa memahami sumber dasar dari fiqh
jinayah dan dapat menjelaskan kembali pembahasan yang telah pemakalah sediakan.
Sehingga mahasiswa benar-benar memahami apa yang pemakalah susun pada poin-poin
di dalam makalah tersebut.
Akhir
kalimat, kami ucapkan terimakasih kepada dosen pengampu dan para mahasiswa.
Semoga makalah yang kami sajikan ini bisa bermanfaat dan dapat diamalkan.
Jambi,
10 April 2018
Pemakalah
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Islam sebagai agama yang mengatur segala aspek bagi kehidupan manusia
pastinya memiliki sebuah dasar yang paling penting yaitu keadilan. Ini terbukti
dengan adanya firman Allah SWT yang berarti “Sesungguhnya Allah menyuruh
(kamu) Berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan
Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi
pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran”.
Dalam hal ini, segala jenis kejahatan memang diharapkan pupus di dalam
dunia ini. Akan tetapi, terbukti dari mulai awal kehidupan makhluk bernama
manusia wujud kejahatan tetap ada dan tidak pernah luput di atas bumi.
Kejahatan tersebut berupa pembunuhan, penderaan, dan lain-lain.
Oleh karena itu, ketika Islam turun, ia sudah mensiapkan paket-paket hukum
dan hukuman bagi pelaku kejahatan-kejahatan ini. Walaupun kenyataan kejahatan
ini tidak bisa 100% hilang di muka bumi, minimal pengaturan hukum Islam
bertujuan menurunkan kadar statistik kejahatan yang melanda di negara Islam.
Dalam hal ini, hukuman kejahatan tersebut dikategorikan dengan nama kisas
dan diyat.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, fokus masalah yang akan dibahas adalah
sebagai berikut:
1.
Pengertian
kisas dan diyat.
2.
Macam-macam
kisas dan diyat.
3.
Sanksi kisas
dan diyat.
4.
Pembuktian
kisas dan diyat.
C. Tujuan
Mahasiswa dapat
memahami apa yang dimaksud dengan qishos dan diyat. Serta menjelaskan kembali
maksud dari penjelasan makalah ini.
BAB II PEMBAHASAN
A. Qishash
a. Pengertian
Jarimah Qishash
Secara
etimologis قصاص dari
kata Qashoshon- Yaqushu- Qoshan yang berarti تتبعته (mengikuti),
menelusuri jejak atau langkah (تتبع الأثر ) seperti قصصت الأثر berarti: “aku mengikuti jejaknya”. Hal
ini sebagaimana firman Allah:
Artinya : Musa berkata,
“Itulah (tempat) yang kita cari.” Lalu keduanya kembali, mengikuti jejak mereka
semula. (QS. Al- Kahfi (18) : 64)
Adapun arti
qishash secara terminologi yang dikemukakan oleh Al- Jurnani adalah yang
mengenakan sebuah tindakan (sanki hukum) kepada pelaku persis seperti tindakan
yang dilakukan oleh pelaku tersebut (terhadap korban). [1]Sementara
itu dalam Al- Mu’jam Al- Wasit, qishash diartikan dengan
menjatuhkan sanki hukum kepada pelaku tindak pidana sama persis dengan tindak
pidana yang dilakukan, nyawa dengan nyawa dan anggota tubuh dibalas dengan
anggota tubuh.[2]
Dengan demikian, nyawa pelaku pembunuhan dapat dihilangkan karena ia pernah
menghilangkan nyawa korban atau pelaku penganiyaan boleh dianiaya karena ia
pernah menganiaaya korban.
b. Dasar
Hukum Qishash
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُتِبَ
عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِي الْقَتْلَى الْحُرُّ بِالْحُرِّ وَالْعَبْدُ
بِالْعَبْدِ وَالْأُنْثَى بِالْأُنْثَى فَمَنْ عُفِيَ لَهُ مِنْ أَخِيهِ شَيْءٌ
فَاتِّبَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ وَأَدَاءٌ إِلَيْهِ بِإِحْسَانٍ ذَلِكَ تَخْفِيفٌ مِنْ
رَبِّكُمْ وَرَحْمَةٌ فَمَنِ اعْتَدَى بَعْدَ ذَلِكَ فَلَهُ عَذَابٌ أَلِيمٌ
Artinya : “Hai
orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan
orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan
hamba, dan wanita dengan wanita. Maka Barangsiapa yang mendapat suatu pema'afan
dari saudaranya, hendaklah (yang mema'afkan) mengikuti dengan cara yang baik,
dan hendaklah (yang diberi ma'af) membayar (diat) kepada yang memberi ma'af
dengan cara yang baik (pula). yang demikian itu adalah suatu keringanan dari
Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, Maka
baginya siksa yang sangat pedih”. (Q.s. Al Baqarah (2) : 178)
c.
Macam-macam Qishash
Dalam fiqih jinayah, sanksi qishash
ada dua macam, yaitu sebagai berikut :
1.
Qishash karena melakukan jarimah pembunuhan
2.
Qishash karena melakukan jarimah penganiyaan
Maksud dari macam-macam qishash adalah jenis-jenis dari kejahatan yang
dihukum dengan cara qishash. Syaikh ‘Abdul Qadir ‘Awdah menjelaskan secara
global ada 5 jenis kejahatan yang masuk di dalam akibat hukum qishash, yaitu :
1.
Pembunuhan sengaja (القتل العمد)
2.
Pembunuhan seperti sengaja (القتل شبه العمد)
3.
Pembunuhan tersalah ( القتل الخطأ )
4.
Pencederaan sengaja (الجرح العمد)
Sanksi hukum
qishash yang diberlakukan terhadap pelaku pembunuhan sengaja (terencana)
terdapat dalam firman Allah berikut :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِي الْقَتْلَى
Artinya
: Wahai orang-orang beriman, diwajibkan atas kamu qishash berkenaan
dengan orang-orang yang dibunuh. (QS. Al- Baqarah (2): 178)
Ayat ini
berisi tentang hukuman qishash bagi pembunuh yang melakukan kejahatannya secara
sengaja dan pihak keluarga korban tidak memaafkan pelaku. Kalau keluarga korban
tidak memaafkan pelaku, maka sanksi qishash tidak berlaku dan beralih menjadi
hukuman diyat.[4] Dengan
demikian, tidak setiap pelaku tindak pidana pembunuhan pasti diancam sanki
qishash. Segala sesuatunya harus diteliti secara mendalam mengenai motivasi,
cara, faktor pendorong, dan teknis ketika melakukan jarimah pembunuhan ini.
Ulama fiqh
membedakan jarimah pembunuhan menjadi tiga katagori, yaitu sebagai berikut:
1.
Pembunuhan Sengaja
2.
Pembunuhan semi sengaja
Ketiga macam
pembunuhan di atas disepakati oleh jumhur ulama, kecuali Imam Malik. Mengenal
hal ini, Abdul Qadir Audah mengatakan, perbedaan pendapat yang mendasar bahwa
Imam Malik tidak mengenal jenis pembunuhan semi sengaja, karena menurutnya di
dalam Al-quran hanya ada jenis pembunuhan sengaja dan tersalah. Barang siapa
menambah satu macam lagi, berarti ia menambah ketentuan nash.[6] Dari
tiga jenis tindak pidana pembunuhan tersebut, sanksi hukuman qishash hanya
berlaku pada pembunuhan jenis pertama, yaitu jenis pembunuhan sengaja. Nash
yang mewajibkan hukuman qishsh ini tidak hanya berdasarkan Alquran, tetapi juga
hadis Nabi dan tindakan para sahabat.
Pernyataan
diatas mewajibkan hukuman qishash terhadap pelaku jarimah pembunuhan secara
sengaja. Adapun dua jenis pembunuhan lainnya, sanksi hukumannya berupa diyat.
Demikian juga pembunuhan sengaja yang dimaafkan oleh pihak keluarga korban,
sanksi hukumannya berupa diyat.[7]
Adapun
sebuah jarimah dikatagorikan sengaja, diantaranya dijelaskan oleh Abu Ya’la
sebagai berikut.
1.
Jika pelaku
sengaja membubuh jiwa dengan benda tajam, seperti besi, atau sesuatu yang dapat
melukai daging, seperti melukainya dengan besi atau dengan benda keras yang
biasanya dapat dipakai membunuh itu disebut sebagai pembunuhan sengaja yang
pelakunya harus di qishash.
2. Jika pelaku tidak sengaja membunuh
tetapi ia sekedar bermaksud menganiaya, maka tindakannya tidak termasuk
pembunuhan sengaja, walaupun tindakannya itu mengakibatkan kematian korban.
Dalam kondisi demikian, pembunuhan itu termasuk kedalam katagori pembunuhan
sengaja sebagaimana dikemukakan oleh ulam fiqh.
d. Penerapan
Hukuman Qishash
a) Bagi pembunuhan sengaja (القتل العمد)
maka sanksinya ada 3 yaitu :
1.
Hukuman Pokok (al-‘uqubat
al-ashliyah )
2.
Hukuman Pengganti (al-‘uqubat
al-badaliyah)
3.
Hukuman Tambahan (al-‘uqubat
al-thaba’iyah)
Secara global pembunuh dengan
sengaja wajib terkena 3 perkara :
1.
Dosa besar.
2.
Diqishash karena ada ayat qishash.
3.
Terhalang menerima warisan karena ada hadis “orang
yang membunuh tidak mendapat waris apapun”.[8]
Hukuman pokok (uqubat ashliyah) untuk pembunuhan sengaja
adalah Qishash. Qishash di sini adalah hukum bunuh. Ketika mustahiq
al-qishâsh memaafkan dengan tanpa
meminta diyat,
maka menurut mazhab Hanafi, Maliki, dan Syafi’I dalam sebuah pendapat ; maka
tidak wajib bagi pembunuh tadi membayar diyat secara paksa. Hanya saja baginya ia boleh memberinya
sebagai gantian dari pemaafan dari mustahiq
al-qishâsh tadi. Secara hukum si mustahiq
al-qishâsh berhak untuk memaafkan secara
gratis tanpa ada tuntutan diyat.[9]
Mustahiq al-qishâsh juga berhak untuk memberi kemaafan dengan tuntutan diyat, banyak dan sedikitnya sesuai dengan
kesepakatan pembunuh. Diyat di sini dianggap sebagai gantian dari
Qishash. Dalam hal ini, hakim tidak boleh menetapkan hukuman pokok dengan
gantiannya secara bersamaan bagi sebuah pekerjaan. Dalam arti, ia tidak boleh
diqishash dan sekaligus membayar diyat.[10]
e. Hapusnya
Hukuman Qishash
Hukuman qishash dapat dihapus karena
hal-hal berikut :
1.
Hilangnya tempat/bagian yang diqishash.
2.
Permaafan / adanya permohonan maaf.
3.
Perdamaian.
Yang dimaksud dengan hilangnya tempat yang diqishash adalah
hilangnya anggota badan atau jiwa orang yang akan diqishash sebelum
dilaksanakan hukuman qishash. Para ulama berbeda pendapat dalam hal hilangnya
tempat utnuk diqishash itu mewajibkan diyat. Imam Malik dan Imam Abu Hanifah
berpendapat bahwa hilangnya anggota badan atau jiwa yang akan diqishash itu
menyebabkan hapusnya diyat, karena bila qishash itu tidak meninggal dan tidak
hilang anggota badan yang akan diqishash itu, maka yang wajib hanya qishash
bukan diyat.[12]
Sedang menurut Imam Syafi’i dan Imam Ahmad dalam kasus diatas
qishash dan segala aspeknya menjadi hapus, akan tetapi menjadi wajib diyat,
karena qishash dan diyat itu kedua-duanya wajib, bila salah satunya tidak dapt
dilaksanakan maka diganti dengan hukuman lainnya.[21] Sehubungan dengan dengan pemaafan para ulama sepakat
tentang pemaafan qishash, bahkan lebih utama daripada menuntunya. Hal ini
berdasarkan firman Allah SWT :
Artinya :
“barang siapa mendapat dari saudara-saudaranya...(QS.Al Baqarah (2) : 178)
Yang dimaksud pemaafan
menurut imam syafi’i dan imam ahmad adalah memaafkan qishash atau diyat tanpa
imbalan apa-apa. Sedang menurut imam malik dan imam abu hanifah terhadap diyat
itu bisa dilaksanakan bila ada kerelaan pelaku/terhukum. Jadi menurut kedua ulama
terakhir ini pemaafan adalah pemaafan qishash tanpa imbalan apa-apa. Adapun
memaafkan diyat itu, bukan pemaafan, melainkan perdamaian. Orang yang berhak
memaafkan qishash adalah orang yang berhak menuntunya.[13]
B.
Diyat
a. Pengertian Diyat
Diyat adalah sejumlah harta yang dibebankan kepada
pelaku, karena terjadi tindak pidana (pembunuhan atau penganiayaan) dan
diberikan kepada korban atau walinya. Dalam definisi lain disebutkan bahwa diat
adalah denda / suatu harta
yang wajib di berikan pada ahli waris dengan sebab melukai jiwa atau anggota
badan yang lain pada diri manusia.[14] Dari
definisi diatas jelaslah bahwa diat merupakan uqubah maliyah (hukuman
yang bersifat harta), yang diserahkan kepada korban atau kepada wali
(keluarganya) apabila ia sudah meninggal, bukan kepada pemerintahan.
b.
Macam-macam
Diyat
Diyat
terbagi kedalam dua macam, yaitu :
1.
Diyat Mughaladhah.
2.
Diyat Mukhafafah.
Diat Mughaladhah adalah denda disebabkan karena membunuh seorang yang merdeka islam
secara sengaja (‘amdin). dan Diat Mukhafafah yaitu
denda disebabkan karena pembunuhan seseorang islam tanpa disengaja (syibhul
‘amdin).[15]
Perbedaan mendasar antara diyat ringan
dan diyat berat terletak pada jenis dan umur unta. Dari segi jumlah unta,
antara diyat ringan dan diyat berat sama-sama berjumlah 100 ekor. Akan tetapi, kalau
diyat ringan hanya terdiri dari 20 ekor unta umur 0-1 tahun, 20 ekor yang lain
umur 1-2 tahun, 20 ekor yang lain 2-3 tahun, 20 ekor yang lain umur 3-4 tahun,
dan 20 ekor yang lain berumur 4-5 tahun. Sedangkat diyat berat terdiri dari
tiga katagori terakhir diatas ditambah 40 ekor unta yang disebut dengan khalifah,
yaitu unta yang sedang mengandung atau bunting. Kasus aktual tentang uang diyat
ini terkait kasus Darsem (tahun 2011), seorang TKW asal Subang, Jawa Barat yang
dituntut membayar diyat sebesar 4,7 miliar rupiah. Sungguh besar apabila
dibandingkan dengan harga 100 ekor unta, walaupun 40 ekor di antaranya berupa
unta bunting.[16]
c.
Dasar
Hukum Diat
Dasar
hukum atau dalil disyariatkannya diyat, terdapat dalam firman Allah pada surat
An Nisa ayat 92 yang berbunyi :
Artinya
: “Barang siapa membunuh seorang yang
beriman karena tersalah (hendaklah) dia memerdekakan seorang hamba sahaya yang
beriman serta membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh
itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah.”
Menurut ayat ini, hukuman diat dikenakan
kepada pelaku pembunuhan tersalah (qatlu al-khatha), namun disini kedudukannya
sebagai hukuman pokok (al-‘uqubat ashliyah). Sabda Nabi SAW :
Artinya : “Dari Abu Bakar
Ibnu Muhammad Ibnu Amar Ibnu Hazem, dari ayahnya, dari kakeknya Radliyallaahu
'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam pernah mengirim surat kepada
penduduk Yaman -dan dalam hadits itu disebutkan- "Bahwa barangsiapa yang
secara nyata membunuh seorang mukmin dengan sengaja maka ia harus dibunuh,
kecuali ahli waris yang terbunuh rela; diyat (denda) membunuh jiwa ialah
seratus unta; hidung yang
dipotong habis ada diyatnya; dua buah mata ada diyatnya; lidah ada diyatnya;
dua buah bibir ada diyatnya; kemaluan ada diyatnya; dua biji penis ada
diyatnya; tulang belakang ada diyatnya; kaki sebelah diyatnya setengah;
ubun-ubun diyatnya sepertiga; luka yang mendalam diyatnya sepertiga; pukulan
yang menggeser tulang diyatnya lima belas unta; setiap jari-jari tangan dan
kaki diyatnya sepuluh unta; gigi diyatnya lima unta; luka hingga tulangnya
tampak diyatnya lima unta; laki-laki yang dibunuh karena membunuh seorang
perempuan, bagi orang yang biasa menggunakan emas dapat membayar seribu
dinar." Riwayat Abu Dawud dalam hadits-hadits mursal, Nasa'i, Ibnu
Khuzaimah, Ibnu al-Jarud, Ibnu Hibban, dan Ahmad. Mereka berselisih tentang
shahih tidaknya hadits tersebut.”
d.
Hal-Hal Kejahatan
Yang Dapat Berakibat Pada Munculnya Diyat
Hal
kejahatan yang dapat dapat dikenakan sanksi diat, adalah :
1.
Pembunuhan terhadap muslim
a) Pembunuhan
terhadap muslim
Pembunuhan
ada tiga yaitu :
Pembunuhan yang benar-benar di sengaja.
adapun diyat yang harus di tanggung bagi pelaku pidana jika ahli waris
memaafkan yaitu :100 ekor unta yang berbeda dalam masing-masing dan hal
tersebut dapat di kelompokan sebagai berikut :
Artinya: Abu
Dawud dan Tirmidzi meriwayatkan dari jalan Amar dan Ibnu Syu'aib, dari ayahnya,
dari kakeknya Radliyallaahu 'anhu dalam hadits marfu': "Diriwayatkan 30
ekor hiqqah, 30 ekor jadz'ah, dan 40 ekor unta bunting yang diperutnya ada
anaknya.
a)
30 ekor unta hiqqah(yang telah berumur 3
tahun)
b)
30 ekor unta jadza’ah(yang telah berumur
4 tahun)
c) 40
ekor unta khalifah(unta yang telah positif bunting) yang dinyatakan oleh ahli
dan disaksikan oleh dua orang yang adil.[18]
Pembunuhan seperti di sengaja.adapun
diyat bagi si pelaku pidana yaitu sama denganpembunuhan dengan sengaja,yaitu
dangan 100 ekor unta dengan pengelompokan yang sama.[19]
Artinya: “Dari dia bahwa Rasulullah Shallallaahu
'alaihi wa Sallam bersabda: "Diyat orang yang membunuh seperti disengaja
itu berat, seperti diyat orang yang membunuh dengan sengaja, namun pembunuhnya
tidak dibunuh. Yang demikian itu karena godaan syetan sehingga terjadi pertumpahan
darah antara orang-orang tanpa rasa dengki dan tanpa membawa
senjata." riwayat Daruquthni. [20]
Dan pembunuhan yang tidak di sengaja
atau kekliruan(khata’) adapun diyatnya sebagai berikut. Artinya: Dari Ibnu Mas'ud bahwa Nabi Shallallaahu
'alaihi wa Sallam bersabda: "Denda bagi yang membunuh karena kekeliruannya
seperlima-seperlima dari 20 ekor hiqqah (unta yang memasuki tahun keempat), 20
ekor jadz'ah (unta yang memasuki tahun kelima), 20 ekor bintu labun (unta
betina yang memasuki tahun ketiga), dan 20 ekor ibnu labun (unta jantan yang
memasuki tahun ketiga). Riwayat Daruquthni. Imam Empat juga meriwayatkan hadits
tersebut dengan lafadz: 20 ibnu makhodl menggantikan lafadz labun. Sanad hadits
pertama lebih kuat. Ibnu Abu Syaibah meriwayatkan dari jalan lain secara
mauquf. Ia lebih shahih daripada marfu'.
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah membahas secara mendalam, maka kesimpulan yang didapatkan adalah
sebagai berikut: Pengertian kisas secara istilah adalah “diperlakukan pada yang melakukan
jinayah seperti apa ia lakukan”, sedangkan pengertian diyat adalah
“harta yang wajib disebabkan
jinayah terhadap orang yang merdeka dari segi jiwa atau pada apa yang selainnya”. Macam-macam
kejahatan yang berakibat kisasdan diyat adalah pembunuhan sengaja (القتل العمد), pembunuhan yang menyamai sengaja (القتل شبه العمد), pembunuhan yang tidak sengaja (القتل الخطأ), pencederaan sengaja (الجرح العمد), pencederaan yang tidak sengaja (الجرح الخطأ).
Sanksi dari kejahatan tersebut adalah dengan dikisas bagi pembunuhan
sengaja. Ketika dimaafkan maka gugurlah kisas dan wajib bayar diyat.
Ketika direlakan diyat maka ia dimaafkan tapi bagi pemerintah
boleh menghukum dengan ta`zîr. Alat bukti untuk penetapan perkara pidana ini ada 5 yaitu 1) pengakuan, 2)
persaksian, 3) qarînah, 4) menarik diri dari bersumpah, 5)
sumpah qasâmah.
B.
Saran
Semoga makalah ini dapat bermanfaat dan memberikan
banyak ilmu sehingga bisa mendapatkan manfaat. Pemakalah menyadari masih banyak
terdapat kesalahan dalam makalah kami ini oleh karena itu pemakalah berharap
agar makalah ini dapat menjadi lebih baik lagi.
DAFTAR PUSTAKA
Abu amar,Drs.h.imron.1983.terjemahan fat-hul
qarib.kudus.menara kudus
Al ashqalani, ibnu hajar al hafiz,bulughul maram
min adhilathil ahkam. Surabaya. Bintang usaha jaya, 2011.
Audah, ‘Abd
al-Qâdir, al-Tasyrî’ al-Janâ`î al-`Islâmî. Beirut:
Mu’assasah al-Risâlah, 1992.
Abidîn, Radd al-Muhtâr ‘alâ al-Durr
al-Mukhtâr. Beirut: Dâr Ihyâ` al-Turâts al-Arabî, 1987.
Al- Jurjani, Ali bin Abu Zahrah, Kitab Al-
Ta’rifat, (Jakarta: Dar Al- Hikmah)
Prof.Drs.H.A.. Fiqih Jinayah (upaya
menanggulangi kejahatan dalam islam)Jakarta.
PT Raja Grafindo Persada, 1997.
[1] Ali
bin Abu Zahrah Al- Jurjani, Kitab Al- Ta’rifat, (Jakarta: Dar
Al- Hikmah) hal, 176.
[2]
Ibrahim
Anis, dkk., Al- Mu’jam Al- Wasit, (Mesir: Majma’ Al- Lughah
Al- Arabiyyah, 1972), cet. Ke-2, hal 740.
[3] Abd
al-Qâdir ‘Audah, al-Tasyrî’
al-Janâ`î al-`Islâmî (Beirut:
Mu’assasah al-Risâlah, 1992), vol. 1, 663.
[4]
Dr. H. M.
Nurul Irfan, M.Ag., dan Masyrofah, S,Ag., M. Si., Fiqh Jinayah (Jakarta:
Paragonatama Suhardi Maret 2013) Hal, 5.
[5] Abdul
Qadir Audah, Al- Tasyri’ Al- Jina’i Al- Islami, Hal. 10; Abu Ya’la,
Al- Ahkam Al- Sultaniyyah, (Beirut: Dar Al- Kutub Al- Ilmiyyah, 1983)
Hal 272-275.
[6] Ibid.
[8] Ibid.
[9] Abd
al-Qâdir ‘Audah, Op.Cit, Hal. 668.
[11] Ibid.
[12] Ibid, Hal.12.
[14] Prof.Drs.H.A.Djazuli, Fiqih
Jinayah (upaya menanggulangi kejahatan dalam islam), Jakarta : PT. Raja
Grafindo Persada, 1997. Hal.150
[15] Ibid, Hal 151
[16] Ali
bin Abu Zahrah Al- Jurjani, Op.Cit,
Hal. 180.
[17] Ibid.
[18] Ibid.
[19] Prof.Drs.H.A.Djazuli,
Ibid, Hal. 152
[20] Ibid.
0 comments:
Posting Komentar