Minggu, 13 November 2022

Pesan Ke-15

 "Ketika manusia lupa bahwa Cinta hanyalah iming-iming di mata pendusta. Mereka hanya ingin sesuatu yang menguntungkan, bukan yang membutuhkan"




Di antara manusia-manusia itu, ada yang menamakan rumah sebagai tempat tinggal untuk berlindung dari cuaca. "Cuaca apa?" Tanyaku kebingungan. Bukankah hujan bukan hanya tentang jatuhnya air dari langit ke bumi? Tapi juga ada hujan yang jatuh dari mata dan melewati pipi.

Di antara manusia-manusia itu, ada pula yang menamakan rumah sebagai tempat pulang, tempat peristirahatan ternyaman dan teraman setelah seharian beraktivitas. Lantas, apakah yang disebut pulang hanya tentang rumah? Bukankah suatu hari kau, aku, dan kita semua akan pulang namun tidak ke rumah melainkan kembali pada Tuhan.

Jika banyak suara di jalan-jalan yang kau lalui, lalu membuatmu pusing karena berisik. Lantas apa gunanya sunyi malam yang kesepian. Bukankah sunyi adalah hati yang kosong meski kepala dipenuhi benang kusut, tinta yang tumpah, dan awan gelap? Bisakah manusia-manusia itu merasakan?

Atau manusia-manusia itu sudah berkamuflase menjadi makhluk yang menyeramkan? Entahlah aku tidak tahu lagi. 

Sesak! Iya sangat sesak. Aku tidak tahu apa yang mengusikku setiap hari. Mereka bergemuruh dan sangat berisik. Hingga aku mencari suasana yang lebih berisik dari berisiknya kepalaku. Nyatanya tak ada yang lebih berisik dari isi kepalaku.

Apakah harus ada obat penenang? Atau aku harus memilih tenang untuk selamanya? Entahlah aku tidak tahu lagi.

Saat disuruh pulang, dada ku langsung sesak, jantungku seketika berdegup kencang dan kecemasan menjajah isi kepala. Entah itu karena pulang ada kaitannya dengan rumah atau dengan isi rumah tersebut.

Mungkin suatu saat seisi rumah itu akan bertanya-tanya kemana anak itu pergi? Seisi rumah itu tidak akan tahu bahwa anak itu bukan pergi, namun ia telah mati. 

Raganya hanya akan menjadi simbolis bagi harapan-harapan yang mereka gantung tinggi setinggi khayalan anak itu tentang cita-citanya. Ia hanya akan merasa gagal untuk menjadi apapun dan siapapun.

Untuk sekian kalinya aksara itu mengipaskan tangannya untuk melerai nebula agar impiannya terasa nyata dan tak membuatnya kecewa. Hingga nanti, saat ia pulang untuk selamanya dan benar-benar tak lagi kembali.



0 comments: