"Aku ingin berpuisi, tapi tak tahu untuk siapa? Aku hanya ingin menyuarakan sunyi yang ada di hati dan berisik yang menggema di dalam kepalaku"
Aku ingin berpuisi. Tapi tak tahu diksi mana yang harus ku pilih dari sekian banyaknya serpihan luka di hati. Mereka menyerbuku untuk menusuk-nusuk alam pikiran. Tak tahu mana yang menunjukkan kepedihan mendalam antara luka yang tak berdarah atau linang air mata yang berkaca-kaca.
Aku ingin berpuisi. Sebagaimana sunyi bernyanyi di kepalaku. Dengan beberapa bait lirik yang mengisahkan seorang pria pendiam lagi menyendiri. Pria itu tumbuh sebagai keinginan orang tuanya. Jika tidak ikut 'durhaka' katanya.
Aku ingin berpuisi. Di tiap-tiap jalan yang menyembah kenangan. Mereka selalu menabur mawar tanda duka atas hilang arahnya seorang pria.
Di manakah seorang pria yang pernah meninggalkan topi merah putihnya saat SD itu? Masih hidup? Atau hanya terlihat hidup?
Aku ingin menyembah malam. Dengan segala gelapnya yang mencekam. Bahkan butuh beberapa lilin untuk menerangi jalan, sialnya seorang perempuan menghembusnya dengan kejam.
Aku ingin menghamba pada sunyi, nyatanya ia telah diusik oleh orang-orang yang mengaku bahwa mereka adalah rumah dan merekalah tempat pulang.
Apakah rumah itu benar-benar layak untuk dihubungkan dengan kata 'pulang'. Atau sejatinya rumah itu hanya penjara di dunia yang penuh kisah-kisah kejam?
Aku tidak tahu sejauh mana depresi ini menjajah otakku. Berpuluh tahun merawat luka. Hingga pendam yang mulanya ingin dendam. Sekarang pendam itu menjadi peredam, bagi harapan yang hilang dari mata seorang pria.
Tentang cita-cita yang tak lagi hidup, tentang tujuan hidup yang ditelan waktu dan tentang malam-malam yang menyimpan rahasia pria malang itu.
0 comments:
Posting Komentar