Minggu, 07 April 2019

Politik dalam perspektif Syari'ah

MEMAHAMI POLITIK DENGAN WAWASAN YANG LUAS







"Seharusnya generasi penerus bangsa lebih banyak belajar dari pada komentar".



Kata politik pada mulanya terambil dari bahasa Yunani dan atau Latin yanki Politicos atau Politicus yang berarti relating to cicizen. Keduanya berasal dari kata Polic yang berarti kota. Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan kata Politik sebagai "segala urusan dan tindakan (kebijakan, siasat, dansebagainya) mengenai pemerintahan negera atau terhadap negara lain." juga dalam arti "kebijakan, cara bertindak (dalam menghadapi atau menangani suatu permasalahan)."
Dalam kamus Bahasa Arab modern, kata politik diterjemahkan dengan kata Siyasah. Kata ini terambil dari akar kata Sasa-Yasusu yang biasanya diartikan mengemudi, mengendalikan, mengatur, dan sebagainya. Dari akar kata yang sama ditemukan kata  Sus yang berarti penuh kuman, kutu, atau rusak. Dalam Al-Qur'an tidak ditemukan kata yang terbentuk dari akar kata Sasa-Yasusu, namun ini bukan berarti bahwa Al-Qur'an tidak menguraikan soal politik. Sekian banyak ulama Al-Qur'an yang menyusun dalam karya ilmiah dalam bidang politik dengan menggunakan rujukan Al-Qur'an dan Sunnah. Bahkan Ibn Taimiyyah menamai salah satu karya ilmiahnya dengan  As-Siyasab Asy-Syar'iyag (Politik Keagamaan).
Uraian Al-Qur'an tentang politik secara sepintas dapat ditemukan pada ayat-ayat yang berakar kata hukm. Kata ini mulanya berarti "menghalangi atau melarang dalam rangka kebaikan". Dari akar kata yang sama terbentuk kata Hikmah yang bermulanya berarti kendali. Maka ini sejalan dengan asal makna kata Sasa-Yasusu-Sais-Siyasat, yang berarti mengemudi, mengendalikan, pengendali, dan cara pengendalian. 
Hukm dalam bahasa Arab tidak sesalu sama artinya dengan kata "hukum" dalam bahasa Indonesia yang oleh kamus dinyatakan antaralain keputusan.

Wawasan Politik dalam Al-Qur'an
Dalam Al-Qur'an ditemukan sekian banyak ayat yang berbicara tentang hukm (Arab). Pengamatan sepintas, boleh jadi mengantarkan orang yang berkata, bahwa ada ayat Al-Qur'an yang secara tegas mengkhususkannya hanya kepada dan bersumber dari Allah yakni ayat yang mengatakan:
"Menetapkan hukum itu hanyalah milik Allah" {Q.S. Al-An'am [6]: 57}
Kelompok Khawarij yang tidak menyetujui kebijaksanaan Khalifah keempat Ali bin Abi Thalib pernah mengangkat slogan yang bunyinya sama dengan redaksi penggalan ayat tersebut, tetapi ditanggapi oleh Ali r.a. denga berkata : "Kalimat yang benar, tetapi yang dimaksudkan adalah batil"
Memang ada empat ayat Al-Qur'an yang menggunakan redaksi tersebut, tetapi ada dua hal yang harus digarisbawahi dalam hubungan ini.
Pertama, keempat ayat yang menggunakan redaksi tersebut dikemukakan dalam konteks tertentu. Perhatikan arti ayat berikut:
"Katakanlah, 'Sesungguhnya aku dilarang menyembah apa-apa yang kamu sembah selain Allah'. Katakanlah 'Aku tidak akan mengikuti hawa nafsumu. sungguh tersesatlah aku jika berbuat demikian dan tidak (pula) aku termasuk orang-orang yang mendapat petunjuk'. Katakanlah 'sesungguhnya aku berada di atas bukti yang nyata (Al-Qur'an). Bukanlah wewenangku untuk menurunkan azab yang kamu tuntut disegerakan kedatangannya. Menetapkan hukum hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia pemberi keputusan yang baik" {QS. Al-An'am [6]: 56-57}
Ayat ini seperti terbaca berbicara dalam konteks ibadah serta keputusan menjatuhkan sanksi hukum yang berkaitan dengan wewenang Allah.
Kedua, dalam Surah Yusuf ayat 40 dan 67 redaksi serupa juga ditemukan. Ayat 40 berbicara dalam konteks mengesakan Allah dalam ibadah:
"menetapkan hukum hanyalah hak Allah, Dia memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia" {QS. Yusuf [20]:40}
Ketiga, sedangkan ayat ke 67 berbicara tentang kewajiban berusaha dan keterlibatan takdir Allah:
"Wahai anak-anakku, jangan masuk dalam satu pintu gerbang, tetapi masuklah ke dalam pintu gerbang yang berlain-lainan. Namun demikian aku dapat melepaskan kamu barang sedikit pun dari takdir Allah. Keputusan menetapkan sesuatu hanyalah hak Allah. kepada-Nyalah aku berserah diri dan hendaklah kepada-Nya saja orang-orang yang bertawakal berserah diri. {QS. Yusuf [20]: 67}
Keempat,menggunakan redaksi yang sedikit berbeda, yang terdapat dalam Surah Al-An'am ayat 62:
"Kemudian (setelah kematian) mereka dikembalikan kepada (keputusan) Allah, Penguasa mereka yang sebenarnya, ketahuilah bahwa segala hukum (pada hari itu) hanya milik-Nya saja. Dialah pembuat perhitungan yang paling cepat."
Sebagaimana terbaca, ayat tadi berbicara tentang ketetapan hukum yang sepenuhnya berada di tangan Allah sendiri pada hari kiamat. Disisi lain, ditemukan sekian banyak ayat yang menisbahkan hukum kepada manusia, baik dalam kedudukannya sebagai nabi maupun sebagai manusia biasa. Perhatikan firman Allah dalam Surah Al-Baqarah ayat 213 yang berbicara tentang diutusnya para nabi, dan diturunkan kitab suci kepada mereka dengan tujuan menutur redaksi Al-Qur'an:
"Agar masing-masing nabi memberi putusan tentang perselisihan anatara manusia."
Disamping perintah kepada nabi-nabi, Ada juga perintah yang ditujukan kepada manusia yang berbunyi:
"Dan apabila kamu berhukum (menjatuhkan keputusan) diantara manusia, maka hendaklah kamu memutuskan dengan adil" {QS. An-Nisa:58}
Kedua, kalau ayat-ayat yang berbicara tentang kekhususan Allah dalam menetapkan hukum atau kebijaksanaan, dipahami terlepas dari konteksnya, maka kekhususan tersebut bersifat relatif, atau yang diistilahkan oleh ulama-ulama Al-Qur'an dengan hashr idhafi. Dengan memperhatikan keseluruhan ayat-ayat yang berbicara tentang pengembalian keputusan, dapat disimpulkan bahwa Allah telah memberi wewenang kepada manusia untuk menetapkan kebijaksanaan atas dasar pelimpahan dari Allah Swt. dan kaena itu manusia yang baik adalah yang memperhatikan kehendak pemberi wewenang itu.

Kekuasaan Politik
Allah adalah pemilik segala sesuatu. Demikian satu dari sekian banyak ayat Al-Qur'an yang berbicara tentang kekuasaan Allah yang meliputi segala sesuatu.Adapun di dunia, maka di samping dia melimpahkan sebagian kekuasaan-Nya kepada makhluk, juga karena kekuasaan tersebut tidak sejenis di hari kemudian. Bukankah masih ada manusia di dunia ini yang tidak mengakui kekuasaan Allah dalam perwujudan-Nya? dalan konteks kekuasaan politik, Al-Qur'an memerintahkan Nabi Muhammad SAW. untuk menyampaikan pernyataan tegas berikut:
"Katakanlah, 'Wahai Tuhan pemilik kekuasaan, Engkau anugerahkan kekuasaan bagi siapa yang Engkau kehendaki dan mencabut kekuasaan dari siapa yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan siapa yang Engkau kehendaki, dan Engkau hinakan siapa yang Engkau kehendaki, dalam tangan-Mu segala kebajikan, sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu" {QS.Ali 'Imran: 26}
Namun demikian seperti yang tersirat dalam ayat di atas, Allah Swt. Menganugerahkan kepada manusia sebagian kekuasaan itu. Diantara mereka ada yang berhasil melaksanakan tugasnya dengan baik karena mengikuti prinsip-prinsip kekuasaan politik dan ada pula yang gagal.

Prinsip Kekuasaan Politik
Seperti terlihat di atas, kekuasaan politik dianugerahkan oleh Allah Swt. kepada manusia. Penganugerahan ini dilakukan melalui satu ikatan perjanjian. ikatan ini terjalin antara sang penguasa dengan Allah SWT. disatu pihak dan dengan masyarakatnya dipihak lain. Perjanjian dengan Allah dinamai-Nya dalam Al-Qur'an dengan 'ahd. Adapun perjanjian dengan anggota masyarakat, maka dinamai bai'at
Perjanjian ini baik antara sang penguasa dengan masyarakat maupun antara dia dengan yang Maha Kuasa merupakan amanat yang harus ditunaikan. Dari sini, tidak heran jika perintah taat kepada penguasa didahului oleh perintah menunaikan amanah. amanah yang dimaksudkan berkaitan dengan banyak hal, salah satu diantaranya adalah perilaku adil. Keadilan yang dituntut bukan hanya terhadap kelompok, golongan, atau Muslim saja, tetapi mencakup seluruh manusia bahkan seluruh makhluk. Ayat-ayat Al-Qur'an yang menyangkut hal amat banyak, salah satu diantaranya berupa teguran kepada Nabi Muhammad Saw. yang hampir menyalahkan orang Yahudi karena terpengaruh oleh pembelaan keluarga seorang pencuri. Dalam konteks ini turun Firman Allah:
"Dan janganlah kamu menjadi penentang orang-orang yang tidak bersalah karena (membela) orang-orang khianat {QS.An-Nisa:105}
Nabi Muhammad SAW dalam sekian banyak hadistnya memperingatkan hal tersebut. Bersampingan dengan amanat yang dibebankan kepada para penguasa, ditekankan kewajiban saat masyarakat terhadap mereka. Perlu diperhatikan bahwa menggandengkan kata "taat" kepada Allah dan Rosul, tapi meniadakan kata itu pada Ulil Amri. Hal ini dikarenakan kekuasaan yang dimiliki oleh Ulil Amri yang mengisyaratkan bahwa ketaatan kepada mereka tidak berdiri sendiri tetapi berkaitan atau bersyarat dengan ketaatan kepada Allah dan Rosulnya. dalam arti bila perintahnya bertentangan dengan nilai-nilai ajaran Allah dan Rosul-Nya, maka tidak dibenarkan untuk taat kepada mereka. Dalam hal ini dikenal kaidah yang sangat populer yaitu: "Tidak dibenarkan adanya ketaatan kepada seorang makhluk dalam kemaksiatan kepada Khaliq (Allah)".
Tetapi, disisi lain perintah Ulul Amri tidak mengakibatkan kemaksiatan, maka wajib ditaati, walaupun perintah tersebut tidak disetujui oleh yang diperintah.Dalam sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim disebutkan: "Seorang muslim wajib memperkenankan dan taat menyangkut apa saja (yang diperintahkan ulul amri), suka atau tidak suka, kecuali bila ia diperintahkan berbuat maksiat, maka ketika itu tidak boleh memperkenankan, tidak juga taat."
Taat dalam bahasa Al-Qur'an berarti "Tunduk", menerima secara tulu dan menemani. Ini berarti ketaatan yang dimaksud bukan sekedar melaksanakan apa yang diperintahkan tetapi juga harus ikut berpartisipasi dalam upaya-upaya yang dilakukan penguasa politik guna mendukung usaha-usahanya.
Menurut pakar tafsir Al-Maghi, menjelaskan prinsip-prinsip ajaran agama dalam bidang pemerintahan serta sumber-sumbernya yaitu:
1. Al-Qur'an Al-Karim yang ditunjuk oleh perintah taat kepada Allah.
2. Sunnah Rosul SAW. yang ditunjuk oleh kewajiban taat kepada Rosul.
3. Konsensus ulul Amr, yakni mereka yang diberi kepercayaan oleh umat seperti para ulama, cerdik cendikia, pemimpin militer, penguasa, petani, industriawan, buruh, wartawan, dan sebagainya. Mereka itulah Ulul Amr.
4. Mengembalikan persoalan yang diperselisihkan kepada kaidah-kaidah umum yang terdapat dalam Al-Qur'an dan Sunnah.

Tugas-Tugas Para Penguasa
Mereka yang mendapat anugerah "menguasai wilayah" diberi tugas, yang antara lain diuraikan dalam Surah Al-Hajj ayat 41, yang artinya:
"Orang-orang yang jika kami kukuhkan kedudukan mereka di muka bumi, mereka mendirikan shalat, menunaikan zakat, memerintahkan kepada ma'ruf dan mencegah yang mungkar, dan kepada Allah kesudahan segala urusan {QS. Al-Hajj: 41}
Dalam rangka melaksanakan tugas-tugasnya, para penguasa dituntut untuk selalu melakukan musyawarah, yakni "bertukar pikiran dengan siapa yang dianggap tepat guna mencapai yang terbaik untuk semua". mereka juga dituntut untuk memanfaatkan semua potensi yang dapat dimanfaatkan guna mencapai hasil maksimal yang diharapkan. Dalam konteks ini, terjadi diskusi dikalangan ulama, berkaian dengan keterlibatan non-Muslim dalam pemerintahan.Diskusi ini muncul baik ketika menafsirkan kata minkum (dari golongan kamu orang-orang mukmin) pada surah An-Nisa ayat 58 yang berbicara ulil amr maupun ayat-ayat lain yang secara tekstualnya melarang mengangkat orang-orang yahudi dan nasrani sebagai pemimpin-pemimpin. Pakar tafsir kenamaan Muhammad Rasyid Ridha, sambil menunjuk kepada kenyataan sejarah masa khalifah Umar r.a dan dinasti-dinasti Umayyah dan Abassiyah. memahami ayat ini semacamnya secara kontekstual. Pakar ini dan merujuk kepada firman Allah dalam Ali 'Imran ayat 118 dan menjadikannya sebagai sebab larangan tersebut tersebut. Ayat di maksud adalah:
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaan orang-orang yang diluar  golongamu (non-muslim karena) mereka selalu menimbulkan kesulitan bagi kamu, mereka menginginkan yang menyusahkan kamu. Telah nampak dari ucapan mereka kebencian, sedang apa yang disembunyikan oleh dada mereka lebih besar. Sungguh kami telah jelaskan kepada kamu tanda-tanda (teman dan lawan), jika kamu memahami." {QS. Ali 'Imran:118}
ayat di atas, tulis Rasyid Ridha,mengandung larangan dan penyebabnya, jadi larangan tersebut adalah larangan bersyarat, sehingga yang dilarang untuk diangkat menjadi pemimpin, atau teman adalah mereka yang selalu menyusahkan dan menginginkan kesulitan bagi kaum muslim, serta yang telah nampak dari ucapan mereka kebencian.
Demikian sekilas tentang prinsip tentang prinsip-prinsip dasar wawasan Al-Qur'an tentang politik. Rincian dan setiap kebijaksanaan politik tidak boleh bertentangan dengan prinsip di atas. 
Sumber: Wawasan Al-Qur'an oleh Prof. M. Qurash shihab

"Fahamilah semia ini agar kita termasuk kedalam golongan orang yang beruntung"

0 comments: