"Biar tak bertemu, biar tak saling memandang, cintaku akan tetap ada untukmu wahai kekasih ku yang tak terlihat"
Baru saja pulang dari kampus kamar dewa sudah terlihat seperti kapal karam saja. Karena ia rajin ia terus membersihkan kamarnya dan merapikan kembali barang-barang yang berantakan.
"Siapa sih yang berantakin ini, seperti tidak memiliki adab saja" dauh dewa seraya merapikan kembali buku-buku yang berantakan.
Hari terlihat cerah. Menunjukkan senja yang akan menyusul cahaya rembulan. Dewa berencana untuk pergi kerumah temannya. Tapi dia mengurungkan niatnya. Hingga selesai sholat maghrib pun Dewa masih kebingungan apa yang harus dilakukan. Iseng dia buka-buka media sosial. Ya, media yang lagi trend untuk tahun 2017. Facebook yang disingkat FB. Dewa membuka beranda FB nya dan notifikasi pertemanan yang sudah penuh belum terkonfirmasi. Dipilah dan dipilihnya orang-orang yang meminta pertemanan.
Tiba-tiba chat messager masuk dari seorang yang bernama Dewi.
"Assalamualaikum" chat dimulai.
"Waalaikumsalam maaf ini siapa ya?" Tanya Dewa.
"Aku Dewi dari Bogor, boleh kenalan kan?"
"Boleh aja" Jawab Dewa singkat.
"Kamu dari mana?" Tanya Dewi.
"Aku dari Palembang wi"
"Udah kerja atau gimana?"
"Nggak aku di sini kuliah Jurusan Sastra"
Singkat cerita Dewa dan Dewi semakin hari semakin dekat. Seperti kain yang dipotong-potong lalu dijahit menjadi pakaian indah.
Sang kekasih telah tiba lalu apa yang akan dilakukan oleh Dewa? Setiap malam mereka saling berbicara bertukar suara dan saling cepika cepiki berdua melalui telpon. Dewa yang kala itu sambil duduk di halaman rumahnya dengan senda gurau kepada Dewinya.
"Engkau yang tidak ku lihat apakah engkau ada?" Tanya Dewa.
"Jangan kira aku jauh ya, hihi. Aku ada di hatimu. Melihat itu bukan melalui mata saja. Tapi hati kita yang harus yakin kelak kita pasti bertemu" jawab Dewi yang membuat Dewa tersenyum lalu menari bersama handphonenya.
Sejak kehadiran Dewi, Dewa menjadi seorang bijak dan cerdas. Bagaimana tidak? Setiap malam Dewi menelfonnya lalu memberi motivasi berharga. Bukan hanya soal agama, hal lain juga ia jadikan landasan untuk ia melangkah.
Pagi itu di kampus tak nampak dosen yang mengisi mata kuliah Bahasa Indonesia. Teman-teman Dewa tampak di kanting belakang yang akhirnya dewa bergabung. Secangkir cappucino dan sepiring nasi goreng sudah tersedia. Zapin teman perempuan Dewa malah tidak makan apa-apa. Dia hanya ikut kebiasaan anak kelasnya. Ghibah. Suasana yang tentram dan bahagia. Dewa juga seorang motivator bagi temannya.
"Ah dosen sering gak masuk. Coba aja kalau kita yang nggak masuk, udah kena nilai kita" Cetus Zapin sambil tangannya mengambil air aqua yang sedari tadi sudah disediakan di rak minuman.
"Iya tuh. Maunya bener terus, ntar gagal disuruh ulang. Cuma gara-gara nilai doang. Huuu" Geram Selaras yang ikut ambil sesi perbincangan.
"Ah kalian ini mengeluh aja bisanya. Udah itu urusan dosen yang penting kita happy aja. Tidak usah takut nilai kalian rendah. Nilai bukan penentu masa depan. Percuma nilaimu tinggi toh nanti kalian nembak cewek ga ditanya juga kan nilai kalian. Haha" Pecah Dewa yang akhirnya mengeluarkan guyonya.
Semua berubah suasana kalau sudah Dewa yang berbicara. Apa yang dikatakan sudah pasti didengar. Seperti radio zaman dahulu, bagi teman-temannya Dewa sangat penting karena dia ketua kelas mereka. Lain cerita soal cinta, Dewa tidak bisa memastikan. Dia sendiri saja sudah tidak tahu lagi harus bagaimana. Sedangkan Dewi sangatlah jauh. Jauh bukan berarti tidak dekat. Dewi ada di hatinya dan entah seperti apa bentuknya.
Malam itu Dewa meminta kiriman foto Dewi.
"Mengapa takut aku jelek ya?" Cetus Dewi.
"Nggak mau liat wajah kamu aja biar sehabis tidurku, bangun dengan menatap wajamu kekasih", Rayu Dewa.
Dikirim beberapa foto dan Dewi terlihat begitu anggun. Dengan jilbab pink dan baju syar'in berwarna biru. Yah, Dewa sudah membayangkan bagaimana Indahnya dia saat bertemu secara langsung.
"Kalau kamu rindu lihat aja foto itu! Nanti aku akan hadir dihadapanmu. Kalau kamu sedih lihatlah foto itu! Nanti aku akan jadi penghiburmu. Kalau kamu terpuruk lihatlah foto itu! Nanti kamu akan merasa ringan." Ucap Dewi lewat seberang telpon.
"Waalaikumsalam maaf ini siapa ya?" Tanya Dewa.
"Aku Dewi dari Bogor, boleh kenalan kan?"
"Boleh aja" Jawab Dewa singkat.
"Kamu dari mana?" Tanya Dewi.
"Aku dari Palembang wi"
"Udah kerja atau gimana?"
"Nggak aku di sini kuliah Jurusan Sastra"
Singkat cerita Dewa dan Dewi semakin hari semakin dekat. Seperti kain yang dipotong-potong lalu dijahit menjadi pakaian indah.
Sang kekasih telah tiba lalu apa yang akan dilakukan oleh Dewa? Setiap malam mereka saling berbicara bertukar suara dan saling cepika cepiki berdua melalui telpon. Dewa yang kala itu sambil duduk di halaman rumahnya dengan senda gurau kepada Dewinya.
"Engkau yang tidak ku lihat apakah engkau ada?" Tanya Dewa.
"Jangan kira aku jauh ya, hihi. Aku ada di hatimu. Melihat itu bukan melalui mata saja. Tapi hati kita yang harus yakin kelak kita pasti bertemu" jawab Dewi yang membuat Dewa tersenyum lalu menari bersama handphonenya.
Sejak kehadiran Dewi, Dewa menjadi seorang bijak dan cerdas. Bagaimana tidak? Setiap malam Dewi menelfonnya lalu memberi motivasi berharga. Bukan hanya soal agama, hal lain juga ia jadikan landasan untuk ia melangkah.
Pagi itu di kampus tak nampak dosen yang mengisi mata kuliah Bahasa Indonesia. Teman-teman Dewa tampak di kanting belakang yang akhirnya dewa bergabung. Secangkir cappucino dan sepiring nasi goreng sudah tersedia. Zapin teman perempuan Dewa malah tidak makan apa-apa. Dia hanya ikut kebiasaan anak kelasnya. Ghibah. Suasana yang tentram dan bahagia. Dewa juga seorang motivator bagi temannya.
"Ah dosen sering gak masuk. Coba aja kalau kita yang nggak masuk, udah kena nilai kita" Cetus Zapin sambil tangannya mengambil air aqua yang sedari tadi sudah disediakan di rak minuman.
"Iya tuh. Maunya bener terus, ntar gagal disuruh ulang. Cuma gara-gara nilai doang. Huuu" Geram Selaras yang ikut ambil sesi perbincangan.
"Ah kalian ini mengeluh aja bisanya. Udah itu urusan dosen yang penting kita happy aja. Tidak usah takut nilai kalian rendah. Nilai bukan penentu masa depan. Percuma nilaimu tinggi toh nanti kalian nembak cewek ga ditanya juga kan nilai kalian. Haha" Pecah Dewa yang akhirnya mengeluarkan guyonya.
Semua berubah suasana kalau sudah Dewa yang berbicara. Apa yang dikatakan sudah pasti didengar. Seperti radio zaman dahulu, bagi teman-temannya Dewa sangat penting karena dia ketua kelas mereka. Lain cerita soal cinta, Dewa tidak bisa memastikan. Dia sendiri saja sudah tidak tahu lagi harus bagaimana. Sedangkan Dewi sangatlah jauh. Jauh bukan berarti tidak dekat. Dewi ada di hatinya dan entah seperti apa bentuknya.
Malam itu Dewa meminta kiriman foto Dewi.
"Mengapa takut aku jelek ya?" Cetus Dewi.
"Nggak mau liat wajah kamu aja biar sehabis tidurku, bangun dengan menatap wajamu kekasih", Rayu Dewa.
Dikirim beberapa foto dan Dewi terlihat begitu anggun. Dengan jilbab pink dan baju syar'in berwarna biru. Yah, Dewa sudah membayangkan bagaimana Indahnya dia saat bertemu secara langsung.
"Kalau kamu rindu lihat aja foto itu! Nanti aku akan hadir dihadapanmu. Kalau kamu sedih lihatlah foto itu! Nanti aku akan jadi penghiburmu. Kalau kamu terpuruk lihatlah foto itu! Nanti kamu akan merasa ringan." Ucap Dewi lewat seberang telpon.
0 comments:
Posting Komentar