Moral kepada manusia atau masyarakat secara luas, tanpa memandang agama, ras, suku dan bangsa. Disamping tetap menjaga hubungannya dengan Tuhan (Habl min-Allah), seorang salik harus tetap melanggengkan hubungannya dengan sesama manusia (Habl min-Nas). Ia harus selalu berada di tengah-tengah masyarakat serta senantiasa tetap mensosialisasikan diri dalam setiap waktu dan kesempatan. Usaha memupuk hubungan dengan manusia ini haruslah selalu membawa pesan-pesan moral yakni nilai-nilai Al-Qur’an dan Hadist yang inheren dalam dirinya seperti kejujuran, ketaqwaan, persaudaraan (Ukhuwah), solidaritas, keadilan dan tolong menolong (ta’awun). Seseorang harus menjadi manusia yang bermurah hati, suka memberi maaf, berbaik sangka (husn al-zhan), senantiasa berfikir lurus dan positif, bersih hati, selalu menepati janji, amanah serta kasih sayang.
Keselarasan hubungan dengan sesama manusia ini, tampak jelas dalam tasawuf modern dimana sufi tidak hanya membereskan hubungan baiknya dengan Tuhan akan tetapi juga mengatur hubungan sebaik mungkin dengan manusia. Dalam konteks menjaga hubungan baik dengan manusia, Rumaym ibn Ahmad menyatakan bahwa ada tiga sifat penting dalam dunia tasawuf yakni memeluk kemiskinan atau kefakiran, meninggalkan sikap menentang dan memilih, serta mencapai hakikat dengan cara itsar yakni mendahulukan kepentingan orang lain diatas kepentingan dirinya sendiri. Sifat tasawuf yang terakhir ini menggambarkan bagaimana sikap seorang sufi dalam bersosialisasi di tengah-tengah masyarakatnya. Ia hadir di tengah-tengah masyarakat dengan membawa kasih sayang dan cinta. Cinta ini kemudian mewujud dalam kata ke’kita’an atau dalam bentuk ‘cinta persaudaraan’ (brotherly love) yang menyangkut rasa tanggung jawab, perhatian, respek atau hormat pada setiap makhluk manusia lainnya. Cinta merupakan dasar dari disiplin spiritual sufi, dan rumah cinta adalah hati. Semakin kita belajar mencintai orang lain, maka kita akan semakin mampu mencintai Tuhan.
Sebuah hadis menyebutkan bahwa di dunia ini ada sekelompok orang yang sangat dekat dengan Allah SWT. Bila mereka tiba di suatu tempat, karena kehadiran mereka Allah selamatkan tempat itu dari tujuh puluh macam bencana. Para sahabat bertanya, “Ya Rosulullah, siapakah mereka itu dan bagaimana mereka mencapai derajat itu?” Nabi yang mulia menjawab, “Mereka sampai ke tingkat yang tinggi itu bukan karena rajinnya ibadat. Mereka memperoleh kedudukan itu karena dua hal; ketulusan hati mereka dan kedermawanan mereka pada sesama manusia.”
Itulah karakteristik para wali (auliya’). Mereka adalah orang yang berhati bersih dan senang berkhidmat pada sesamanya. Wali adalah makhluk yang hidup dalam paradigma cinta. Dan mereka ingin menyebarkan cinta itu pada seluruh makhluk di alam semesta.
[Sumber: Buku Membangun Moral Bangsa Melalui Akhlak Tasawuf-M. Iqbal Irham, M. Ag]
0 comments:
Posting Komentar