"Tertatih-tatih dalam berjalan. Merasakan letihnya ketidak pastian. Kali ini aku pasrahkan kepada Tuhan"
Satu kali setiap minggunya dahulu itu jika dihitung maka terasa sangat lama. Di mana keinginan hati untuk selalu bertemu setiap hari terus bergelora. Seperti awan yang dilelehkan oleh matahari, ingin segera sampai ke bumi. Hari-hari yang indah, jika hal demikian dijadikan pemandangan setiap malam, pagi, siang dan sorenya. Malam dengan bintang-bintang yang indah dan rembulan yang benderang. Pagi dengan kesejukan embunnya. Siang dengan pelukan hangat dari matahari. Hingga sore dengan senja yang memanjakan mata. Semua keindahan itu terlukis atas kebesaran Tuhan. Termasuk kamu, dengan mata indah dan posesifnya tidak ada tandingannya. Namun aku senang, sayangnya itu dulu jauh sebelum permasalahan siapa benar dan siapa salah menyerang.
Sebuah boneka kodok yang lucu menjadi pilihan utamaku diantara banyak boneka di mall pada malam itu. Aku sampai terlambat menjemputmu gara-gara mencarikan boneka kodok yang imut. Semua karena sang pecinta ingin memberikan yang terbaik untuk kekasihnya. Namun, lagi-lagi itu dulu bukan sekarang. Bagiku sekarang aku banyak merasa terasing dari diriku sendiri karena dirimu mengatakan "tidak peduli dengan cinta-cintaan, sayang-sayangan, dan perasan terhadap lawan jenis". Masalanya bukan persoalan cinta-cintaan, sayang-sayangan atau perasan terhadap lawan jenis. Semua hanya persoalan rumit yang tersembunyi diantara aku dan kamu namun enggan untuk menampakkannya. Ini adalah permaslahan yang paling esensial dan paling serius menurutku. Ini juga membuat dirimu merasa terusik oleh diriku yang hanya melontarkan kalimat-kalimat yang sebenarnya bagimu sudah tidak penting.
Setelah dipikir-pikir dan dirasa-rasa bahwa aku menemukan pemikiran yang teramat sulit dari kalimat 'iya' yang kau lontarkan. Hanya satu kata namun jawaban tersebut membutuhkan pemikiran. Aku jadi teringat kata-kata seorang filsuf:
"Dua kata tertua adalah 'iya' dan 'tidak' dengan alasan untuk menyebutkannya kau membutuhkan suatu pemikiran"
Lupakanlah. Pembahasannya makin latur malam semakin rumit. Tidak kalah rumitnya dengan aku dan kamu memiliki jarak yang jauh. Tapi jangan salah, karena jauh lah aku selalu merasakan rindu. Apakah kau juga begitu atau memilih tetap acuh?
Pertanyaan di atas tidak perlu dijawab karena itu hanya akan membuat dirimu marah. Sebab aku telah terlalu sering bertanya berkali-kali pada mu tentang kabar, kegiatan, dan tentunya semua tentang diriku. Sekarang aku sudah sadar bahwa kalimat dan kata apapun jika keluar dari orang yang dicintai pasti mau bagaimana pun akan disenangi. Sebaliknya jika kalimat tersebut keluar dari orang yang tidak disukai, mau bagaimana pun akan tetap mengundang emosi (kesal, kecewa, dan amarah).
Ku harap kita bertemu lagi di surat selanjutnya. Aku titip salam buat kamu, sehat selalu, apapun yang terjadi doa ku bersama mu.
"Tiada yang patut disesali di masa lalu jika itu tentang rindu. Sesali lah diri mu karena tak ikhlas dalam menunggu"
0 comments:
Posting Komentar