"Suatu hari aku akan pergi jauh dan kepergian itu akan kusebut dengan PULANG. Kalian bertanya kan, kapan aku pulang?"
Matahari yang sudah menyingkap langit agar orang-orang terbangun dan memulai aktivitas nya kembali. Sebagian orang sibuk ke sekolah, kerja dan ada yang di rumah saja. Waktu itu tepat pukul 9 pagi, seorang anak muda yang masih berada di atas kasurnya. Terus menerus memaksa matanya untuk terpejam. Meski tahu ia tidak mengantuk sama sekali. Meski matahari sudah bersinar terang dan membuat silau matanya.
Seketika dari lalu lalang manusia-manusia yang penuh kesibukan itu datang memperhatikannya. Di sisi lain ibu dari pemuda tersebut telah membangunkannya. 'cukup tidurnya, cobalah pergi ke acara anak-anak muda itu. Lihatlah si fulan bergaul, punya banyak teman, dan ini dan itu....' ada banyak lagi ocehan yang keluar dari ibu pemuda tersebut.
Datang seorang perempuan yang tak lain adalah kakak pertamanya. Ia bertutur 'sakit tapo e adek ko mak, tando e dak bangun-bangun'.
Mungkin demikianlah gambarannya. Pemuda itu mendengar. Sambil memejamkan matanya dan menahan semua derai air mata, di kamar, SENDIRIAN. Sudah sejak dahulu ia tidak pernah cerita apapun dan pada siapa pun. Ia pandai mengarang-ngarang cerita seolah hidupnya mulus tanpa hambatan apapun. Ia pintar menyusun kalimat untuk memanipulasi orang-orang agar hanya diketahui sebagai orang yang tenang, berilmu, dan penuh kesopanan. Padahal aslinya tidak begitu.
Sedari kecil ia sudah memendam, menahan, tanpa tahu cara bercerita dan harus memulai cerita dari mana, ia tak tahu.
Suatu saat mungkin jika benar terjadi, pemuda itu akan PULANG ke kampung halamannya. Tempat di mana ia akan benar-benar tenang untuk selamanya. Mungkin kesalahan dirinya sendiri, mengapa ia memilih pendam? Mengapa tidak bercerita saja? Tutur orang yang tidak pernah merasakan ceritanya diadu nasib dengan cerita orang lain bahkan juga diadu nasib dengan yang mendengarkannya.
Jika manusia memiliki masalahnya masing-masing, mengapa seolah manusia-manusia itu mengintimidasi permasalahan hidup orang lain dengan mencecar 'makanya begini, makanya begitu, dan sebagainya'
Nanti aku minta ada orang yang menabur bunga mawar dan melati bersamaan di atas rumah pemuda itu. Itu pun jika ada, jika tidak aku juga tidak apa-apa.
Dengan hati yang penuh maaf, pemuda itu akan selalu memaafkan siapapun. Dengan hati yang penuh kepasrahan, pemuda itu hanya bisa memendam, tentang apa-apa yang telah terjadi, yang ia rasakan, dan tentang motivasi hidupnya.
Surat ini spesial, dari pemuda tersebut yang aku tulis untuk mengabarkan kepada keluarganya dan orang-orang terdekatnya agar nanti mereka tidak terkejut jika pemuda itu sudah PULANG ke kampung halamannya.
Jambi, 17 Nov 2022
0 comments:
Posting Komentar