Orang-orang banyak berbicara tentang kebenarannya masing-masing. Ada kebenaran yang disepakati seperti agama dan ada kebenaran yang hanya diakui secara individu seperti kebenaran perspektif. Terdapat banyak kesalahfahaman di dalam hidup ini. Karena manusia diberikan akal yang murni digunakan untuk berpikir, menyadari, mempelajari dan mengetahui. Tapi tidak semua orang yang menggunakan akal seperti demikian itu. Beberapa orang bahkan menggunakannya secara tidak murni dengan cara mengedepankan keegoisan yang ia paksakan agar diakui kebenarannya. Untuk mendapatkan itu, banyak orang yang saling menyerang satu sama lain.
Contoh sederhananya seperti seorang anak yang ingin bermain bola, karena ia memiliki cita-cita sebagai pemain sepak bola yang hebat dan terkenal. Di sisi lain orang tuanya ingin anak itu belajar dengan tekun agar bisa mendapatkan nilai yang bagus di sekolah. Kedua-duanya sebenarnya sama-sama benar. Bagi sang anak, untuk mengejar cita-citanya menjadi pemain sepak bola yang hebat dan terkenal, bermain bola dan terus latihan adalah jalan yang benar. Tetapi bagi sang orang tua, membimbing anak untuk terus belajar dan harus mendapatkan nilai yang bagus di sekolah juga akan dianggap benar oleh orang tua. Kedua-duanya memiliki kebenaran menurut anak dan menurut orang tua. Inilah yang disebut dengan kebenaran perspektif.
Dengan adanya kebenaran perspektif tersebut, maka akan ada kesenjangan yang membuat antara anak dan orang tua selisih paham terhadap olahraga bola kaki dan belajar. Jika dilihat dari perspektif anak, karena cita-citanya menjadi pemain bola maka bermain bola adalah kebenaran yang harus ia lakukan. Dari perspektif orang tua, karena harus mendapatkan nilai bagus maka belajar yang tekun adalah kuncinya. Lalu di mana kesalahannya? Kesalahannya tidak ada. Hanya saja ada yang tidak sejalan atau kesalahpahaman antar anak dan orang tua. Lalu bagaimana cara mengatasi kesenjangan tersebut? Cara yang paling sederhana ialah menghargai kebenaran masing-masing orang.
Contoh menghargai kebenaran masing-masing orang seperti kebenaran anak dan orang tua tadi. Orang tua seharusnya bisa menghargai cita-cita anaknya yang ingin menjadi pemain sepak bola yang terkenal dan hebat. Hanya saja diarahkan dengan baik agar anaknya sungguh-sungguh menekuni hobinya tersebut. Boleh menyuruh anaknya belajar namun jangan larang mereka mengembangkan bakat yang telah ia miliki. Lalu anak juga demikian, juga harus bisa menghargai pendapat orang tuanya. Mungkin seorang anak bisa melakukan hobinya, namun terimalah opsi yang diberikan orang tua untuk tekun dalam belajar semampu anaknya saja. Jadi hobinya tetap jalan dan belajarnya juga tetap jalan.
Selain kebenaran perspektif, ada pula kebenaran yang telah disepakati. Salah satu kebenaran yang disepakati tersebut ialah kebenaran agama. Kebanyakan manusia mengakui kebenaran ini karena kuantitasnya yang sangat banyak. Agama telah disepakati oleh umat manusia untuk mengatur kepribadian atau individu dengan penuh budi pekerti yang luhur. Manusia tidak akan pernah bisa lepas dari agama sekali pun, meski seorang tersebut adalah orang ateis. Di sisi ketidakpercayaannya pada Tuhan, kaum ateis tidak mungkin tidak mengerti budi pekerti atau etika dalam kehidupan sosial. Hal yang mereka percayai sebagai suatu kebaikan sebenarnya juga merupakan bagian dari ajaran agama. Kebenaran yang disepakati ini sangat sulit untuk disalahkan karena memiliki landasan yang kuat dan sangat logis. Sehingga tidak bisa dibantah kebenarannya sekali pun dengan pemikiran yang paling cerdas. Jika kebenaran ini di klaim oleh salah satu kelompok dan kelompok tersebut menyalahkan kelompok lain dengan atas nama agama, sebenarnya kelompok tersebut belum beragama dengan baik dan benar. Sebab agama sangat menanamkan nilai-nilai kasih sayang dan budi yang luhur.
Ketika kita sudah memahami dua kebenaran tersebut lalu kita mengatasi problem yang ada pada kebenaran perspektif, maka kita akan terlepas dari kebenaran buta yang membuat hidup manusia tidak tenang walaupun sudah menganggap dirinya berada pada jalan yang benar. Karena benar yang dia maksud sebenarnya benar menurut dirinya sendiri. Sebab itu, untuk memutuskan mana yang benar dan mana yang salah kita berlu teliti. Bahkan bisa saja kita melakukan penelitian terhadap kebenaran yang telah kita lihat atau kita dengar dengan telinga. Bisa jadi yang kita lihat dan kita dengar tersebut merupakan hipotesa yang harus kita uji kebenarannya melalui sebuah penelitian.
Contohnya saat kita mendengar dari seseorang yang mengatakan "Si Fulan telah melakukan pencurian sepeda motor di Lokasi A". Orang bijak tidak akan langsung percaya begitu saja dengan tuduhan terhadap Si Fulan. Maka langkah yang bagus seharusnya kita melakukan mengolah terlebih dahulu informasi tersebut sebagai Hipotesa yang akan kita uji kebenarannya. Kita mulai dari melihat bukti-bukti yang ada hingga saksi-saksi yang berada di Lokasi A saat itu. Kemudian dari mana sumber informasi tersebut tersebar. Hingga kita menemukan titik yang benar-benar jelas dan didukung dengan fakta yang kuat. Barulah kita bisa mengambil kesimpulan apakah si Fulan benar-benar mencuri atau hanya fitnah belaka.
"Fahamilah semua kebenaran sebagaimana kita memahami keburukan. Bukan hanya keburukan yang perlu kita kepoin lebih dalam tetapi kebenaran juga seharusnya juga demikian"
-Zulpasmi-
0 comments:
Posting Komentar